Sabtu, 19 November 2011

Angel and Miracle by greenzclover

“Deuu..lagi ngapain nich! Oh…pantas nggak nyampe kedip. Ternyata ada Sakura Azuraminami. Emang..dia akhir-akhir ini lebih cantik dari biasanya!” ujar Kai tiba2.
“Hmm……” jawab Touya tetap tak sadar jika temannya sudah memperhatikannya.
“Benar-benar, kalo udah jatuh cinta jadi kayak gini. Temen sendiri gak diladenin! Woiii…!!” jerit Kai sebal.
“Oh…Kai. Sorry, lagi nglamun nich!”
“Nglamun atau nglamun? Bukannya lagi nglihatin si Bidadari yang sedang baca di jendela perpus ya?” jelas Kai masih menggoda.
“Ah! Kata siapa?! Gengsi tauk! Masa’ lihatin orang yang pernah nolak gue! Yuk main! BT banget tauk!” Touya langsung merebut bola yang dipegang Kai.
X_X
Udara yang berhembus melalui jendela yang ada di depannya, sejuk karena banyak tumbuh-tumbuhan. Ada kelompok Miracle yang sedang main basket. Mereka adalah teman yang paling tidak bisa akrab dengan mereka, kelompok Angels. Ya...dengan ketua yang sombong itu, Touya Mathew.
Touya, anak seorang pengusaha mebel sukses diseluruh Osaka. Blasteran Jepang-Jerman. Sifatnya sangat sombong, sok, keras kepala, tak mau mengalah dan agak cool. Pintar dan kaya. Bola mata biru, rambut lurus warna coklat, tinggi, atletis, raut wajah mengikuti Ibunya, Ny. Rosemary yang asli orang Jerman. Sifatnya yang jelek mengikuti ayahnya, Tuan Aikawa Mathew. Tapi sebenarnya dia baik, suka membela temannya yang lemah, setia pada persahabatan dan…terkenal disekolah.
Kai Iragashi, anak Hokkaido yang kulitnya agak gelap. Manis, pintar dan kaya. Suka bercanda, baik, ramah pada semuanya dan perhatian. Tinggi, tampan, wajah orang jepang yang khas. Orang tuanya bekerja di Universitas Osaka, menjadi wakil universitas dan dosen. Dia sedang mengincar sahabatnya. Sakura tahu dari gerak-geriknya jika ia dan Juve melewatinya.
Santiago Otovic, anak Rusia-Turki ini baik dan ramah pada semua orang. Rambutnya yang pirang dan bola matanya yang hijau menarik perhatian semua orang. Apalagi jika dia berjalan dengan Touya. Ibunya sudah meninggal. Ayahnya masih bekerja di Rusia. Dia tinggal di Osaka bersama paman, dari Ibunya yang Turki.
Sebastian Origashi, anak Amerika-Jepang, pintar dalam bidang elektronik dan Biology. Dia maniak elektronik buatan ayahnya. Dan dia menyukai game2 buatan mamanya yang seorang programer Game terkenal. Dikenal paling cool diantara lainnya. Jarang berbicara yang membuatnya semakin kelihatan tampan.
Lie Xen, anak seorang dokter dari Cina yang tinggal di Osaka. Ayahnya sudah meninggal tahun lalu. Tampan dan jarang tersenyum, mungkin stok senyumannya terbatas hanya untuk orang2 yang benar2 ia kenal dan sayangi. Jika ia tersenyum atau tertawa dia sangat tampan. Mungkin anak2 sekolah Saint Louis ini akan terbengong2. sayang, pernah ada kabar yang beredar dia seorang homo. Tapi Sakura tak percaya.
Dan dari kelompoknya, Sakura Azuraminami, ketua dari Angels. Orang Osaka asli dari keluarga yang hampir hancur. Tapi tak terlalu ia hiraukan. Pintar dalam segala bidang, termasuk olahraga. Cantik-ideal, berperawakan keras dan tegas. Tomboy. Tak ada yang berani dengannya, walau Touya sekali pun. Punya kakak, namanya Ao Minami, dia masih kuliah. Sebentar lagi akan menyelesaikan S2-nya, Biology.
Juve Lee, anak seorang pengusaha komputer di Osaka. Dia anak dari Cina. Ibunya sudah meninggal dan punya ibu tiri yang sangat baik padanya, yang sedang mengandung adik iparnya yang pertama. Mereka sangat harmonis, tidak seperti keluarga Sakura. Walau Juve anak ipar, mama tirinya tak pernah menganggap Juve sebagai anak tiri.
Amy Lee, kembaran Juve. Akan tetapi raut mereka beda. Juve seperti Ibunya yang Cina, dan Amy berperawakan orang Malaysia seperti ayahnya. Baik dan lemah lembut. Tidak kasar seperi Sakura. Sangat sopan pada yang lebih tua. Kulitnya gelap, akan tetapi itu yang membuatnya lebih kelihatan manis dari yang lainnya, apalagi postur tubuhnya yang kecil membuatnya terkesan semakin menarik.
Tika Lestari Putri, anak Indonesia yang pindah ke Osaka. Dia hidup dalam kekayaan yang melimpah tapi dia memilih hidup sederhana. Pandai memainkan musik, apalagi Biola. Cewek berkacamata ini sangat menyukai kucing. Benar2 lemah lembut dan ramah.
Adrian Stevanus, anak pindahan dari Roma 3 tahun yang lalu. Pendiam dan dewasa dari pada Sakura, mungkin. Namanya seperti cowok. Dia memang yang meminta, aktenya ia ubah. Anak seorang pengacara senior dan Ibunya seorang peneliti di lab. Punya adik bernama Ryonami, umurnya masih 5 tahun. Penyanyang dan selalu diam diantara lainnya. Menyukai buku2 Sains. Makanya dia memakai kacamata ynag lumayan tebal. Tapi dia sangat cantik jika melepas kacamata minus 5-nya.
“Sa, kamu nggak apa-apa kan? Kok dari tadi bengong? Padahal novel kesukaanmu ada di depan matamu lho!” ujar Juve.
“Oh..nggak. ini lho lagi nostalgia dengan masa lalu, mana yang lain?”
“Tuch, lagi pada nyari buku. Apalagi Si Ryn (Rian), ada buku Sains baru langsung dilahap. Ngomong2 masa lalu yang mana? Sama Touya atau Alm. Saoran? Sorry kalo’ nyinggung.” Ujar Juve sopan.
Oh iya, aku (pengarang) belum cerita. Sekarang Sakura sedang duduk di dekat jendela perpus. Ini adalah tempat kesayangnnya. Dulu...waktu dia kelas 1 SMP, ada murid bernama Saoran yang sekarang ini sudah meninggal karena kecelakaan. Dia adalah pacarnya yang sudah tiada. Lapangan yang dipakai Miracle adalah tempat kesukaan Saoran dulu, dan merupakan kenangan lama saat dia menembaknya.
Touya selalu mengingatkan Sakura padanya. Karena mereka hampir sama. Walau sifat dan karakter tubuh mereka agak berbeda. Touya seorang blasteran sedang Saoran orang Osaka asli. Saat ia sedang membaca buku, tiba2 Saoran datang di depannya. Waktu itu jendelanya terbuka, yang terbuat dari kayu.
“Sa, sebenarnya dari dulu aku selalu memperhatikanmu. Maukah kau menerima perhatianku ini?”
Sakura sangat terkejut, karena dia mengenalnya. Padahal mereka tidak saling mengenal tapi dia lakukan tanpa beban apapun. Saat itu Sakura hanya bisa mematung, tak percaya dengan apa yang terjadi. Saoran terus mendesaknya, sampai2...penjaga perpus juga mengingatkannya, karena Saoran menunggu jawabannya. Memang Saoran orang populer waktu itu. Touya hanya murid baru kelas 3 SMP.
Sakura jawab dengan malu2, Saoran nampak sangat gembira karena dia melonjak2. Semua yang ada di dalam perpus waktu itu bertepuk tangan, termasuk penjaga perpus, tapi beliau langsung sadar dan menghentikan semuanya. Mereka canggung waktu kencan pertama. Tapi..akhirnya juga mereka biasa, karena selalu bertemu di sekolah.
Oh iya, sekolah Sakura jadi satu dengan SMA. Touya beda kelas dengan Sakura. Umur Saoran lebih tua satu tahun dari Sakura. Saat itu Saoran benar2 populer. Karna yang Sakura tahu, Saoran sudah lama sekolah di sana. Mungkin dari kelas 1 SMP dulu dia sudah populer.
Lalu saat mereka akan mencoba saling memahami, cobaan itu datang, Saoran kecelakaan dan koma selama 3 hari. Dia sadar setelah menyelesaikan kata perpisahan pada Sakura, dia bilang sepertinya akan pergi dari dunia ini. “Sa, aku tahu, kamu sayang aku. Tapi tolong mulai sekarang relakan aku pergi, agar aku bisa tenang. Mungkin Tuhan mengambil jalan yang benar. Aku tak pantas untukmu, carilah pria lain yang lebih baik dariku. Jangan pernah bersedih untukku. Karena itu yang akan membuatku sedih di surga,” Saoran terakhir mencium pipinya. “Tersenyumlah selalu untukku, Sa.”
Hah..! tapi itu masih berat untuknya. Dia kadang teringat dengannya. Mereka hanya pacaran selama tak ada satu tahun. Apalagi sekarang Touya datang dengan membawa kenangan itu kembali.
“Sa, hari ini kita boleh main nggak?” tanya Amy dia mengambil posisi di sampingnya.
“Boleh kok! Main aja, mumpung ortu lagi nyelesaiin surat perceraian mereka di Amrik.”
Ada kenangan yang membuat Sakura dan Touya bermusuhan di awal kelas 1 SMA semester 2. Pagi2 ia dihadang oleh mereka tanpa ada sahabat2nya yang melihat. Mereka pasti sedang ada di Lab. Dengan gayanya yang angkuh dan sok, dia menghampirinya.
“Mau jadi pacarku nggak?kamu cantik kalo’ lagi cemberut. Gimana kalo’ tanding denganku? Jika aku kalah kamu harus jadi pacarku, dan kalo’ kamu menang, terserah tuan putri mau memperbuat apa dengan hamba.” Katanya, membuat semua yang melihat tertawa.
Dia hanya diam dan terus berjalan, tapi kata2 itu yang membuatnya menyetujui permintaannya.”Diam Tuan Eksekutive!!! Siapa yang kamu bilang pecundang? Aku hanya malas meladeni kalian yang sok berkuasa di sekolah ini. Padahal masih banyak kakak kelas di sini, apa kalian tidak malu? Baiklah aku akan menerima tantangan itu,” tanpa babibu lagi ia serang dia dengan cepat.
Tapi percuma, waktu itu ia belum mahir dengan basket, dan keadaan waktu itu dia sedang tidak fit karena penyakitnya yang selalu berkelanjutan akhir2 ini. Mungkin ada pengaruhnya dengan masalah di rumah.
“Bagaimana nona? Loe sekarang kalah, dan mulai saat ini loe jadi pacar gue!” Touya hampir saja menciumnya, tapi ia sudah mengumpulkan tenaga pada tangannya. Sehingga, dia tinju perut Touya dengan keras.
“Kamu harusnya yang malu tahu! Udah gitu beraninya nantang cewek, bukan sebangsamu. Dasar bodoh!” katanya keras pada telinganya. “Saoran saja tak pernah menciumku, hanya waktu perpisahan itu. Dan aku takut untuk bercinta Touya Mathew!” batinnya sambil melangkah pergi meninggalkan mereka.
“Tapi ada Kak Minami ya?” tanya Amy takut2.
“Memang kenapa?” tanya Sakura heran.
“Aku...takut, dia akan memelukku!”
“Habis kamu manis sih! Nggak kayak adiknya yang galak. Apalagi Ryn, kadang kakak sering cerita tentang dia. Maklum, dia juga sedang puber bukan. Tak apalah jika dia menyukai kalian!” goda Sakura.
“Ihh...apaaan sich?!!” jerit Ryn dan Amy bersama. Sakura meringis.
“Sa! Awas dibelakangmu!!” jerit Juve tertahan.
“Ap...a?” tanya Sakura getir setelah melihat bola mengarah padanya. Dia yakin ia tak bisa lolos. Sebelum ia limbung jatuh di atas tanah, dia mendengar suara2 yang sangat ia kenal.
“SAKURAAA!!!”

Sakura membuka matanya pelan2. rasa nyeri dan pusing langsung menyergapnya begitu saja. Pandangannya masih buram, tapi dia coba tajamkan. Ruangan putih dan bau obat2an seperti ini, ia mengenalnya. Dia ada di UKS sekarang. Dia melirik arlojinya,”oh Shit! Ini pelajaran Pak Oga! Kenapa aku di sini? Aku harus pergi,” ia mencoba duduk, tapi langsung memegang kepalanya.
“Kenapa ini? Kenapa dibalut?” tanyanya sendiri. Tapi ia tak punya waktu untuk itu. Dia mencoba berjalan, walau terhuyung2 dengan kepala yang rasanya sangat sakit. “Atau...aku kena bola itu ya?” gumamnya. Akan tetapi, sebelum sampai memegang engsel pintu ia mendengar seseorang menyetopnya.
“Mau kemana? Loe masih sakit tahu! Tidur aja sana!” Sakura tahu suara itu. Touya!
“Memang kenapa?” tanya Sakura sambil membalikan badan. Tapi tiba2 bumi bergoyang, ia limbung.
“Eits! Tuch kan! Gue bilang apa?” kata Touya yang tiba2 sudah memeluknya. Dia memapahnya kembali menuju ranjang. Tapi dia menyandung kursi dan...akhirnya mereka berjatuhan. Tubuhnya ada di atas Sakura.
“Touya, permisi dong! Berat tahu,” katanya sebal. Ia coba mendorangnya, tapi...tiba2 pandangannya menggelap kembali.
“Sa, Sa, bangun dong! Aduh pingasan lagi!” gerutunya. Tiba2 Touya terdiam. Dia menatap wajahnya lurus2. wajah cantik yang berperawakan keras dan kasar. “Sial! Kenapa aku jadi berdebar2 gini? Mau cium cewek kasar gini? Gila aja! Touya! Loe sadar dong! Masa’ cewek macan gini?” gumam hatinya. “Kenapa akhir2 ini...gue rasa aneh ya? Selalu memperhatikannya dari jauh. Tapi...aku selalu menatap bibirnya! Ah! Dasar cowok kurang ajar gue!” makinya kesal.
“Lebih baik dia cepat diantarkan pulang dan gue nggak mau berhubungan lagi dengannya!” janjinya. Touya mengangkat tubuhnya. “Berat juga Loe!”

KEESOKANNYA.......
“Eh Sa, tahu nggak? Yang bawa kamu sampai UKS itu Touya tahu! Begitu bolanya ke arah kamu dia yang pertama kali teriak. Apalagi keras banget!” kata Juve semangat.
“Jangan2...ada sesuatu. Mungkin aja...cinta yang dulu terkubur bangkit kembali?” kata Amy.
“Ngaco! Dia itu nggak bakal level sama aku. Tuan sombong kaya’ dia, emang mau sama singa betina?” canda Sakura. “Temenin yuk!” ajaknya.
“Kemana?” tanya mereka berempat serempak.
“Nyamperin dia. Mau bilang makasih,”
“Jangan!!!” kata mereka.
“Kenapa?”
“Nanti dia jadi tambah GR lagi. Aku nggak suka kalo’ dia pamer di depan teman2nya. Apalagi ada Lie, aku malu,” kata Tika.
“Ehm! Malu atau...”
“Iihh!! Udah ah, nggak usah goda aku! Goda aja Sakura. Dia kan yang mau ketemu sama pangerannya,” muka Tika agak memerah.
“Sudahlah, sekarang kalian mau ikut atau nggak?” mereka akhirnya mengangguk dan membuntuti kepergian sang ketua.
DI LAIN TEMPAT...
“Touya, loe ngapai aja di dalam UKS sama musuh loe sendiri? Apalagi katanya loe mengantarnya sampai rumah. Gimana sih?” tanya Ian, asli dia kebingungan.
“Eh, gue kasih tahu ya! Ketua kita itu jatuh cinta lagi sama macan itu. Makanya dia baik sama musuhnya dia sendiri. Karena dia nggak sadar aja, jadi ngrasanya nggak ada cinta. Padahal ada tahu! Waktu aku jemput mau main basket, gue lihat, dia lagi serius sama pandangannya. Sakura kan selalu duduk di depan jendela perpus kan? Touya lihatin diaaa..mulu, sampai nggak kedip tauk!” kata Kai.
“Ih..! syirik banget sih, loe ma gue!”
“Tapi...loe bener suka ma dia kan? Jujur aja lagi man! Loe juga berhak mencintai sesuatu yang nggak mungkin kesampaian. Kita udah lama temenan tahu! Masa’ loe tega nyembunyiin perasaan loe? Kita semua yang jadi penasaran tauk!” kata Kai sebal.
Touya menghembuskan nafas berat,” entahlah, gue nggak ngerti. Kenapa kalo’ gue ketemu dia dengan nggak sengaja maupun sengaja hati gue tiba2 berdebar. Dan muka gue jadi panas. Gua nggak ngerti, kenapa gue jadi gini. Padahal gue udah biasa, tapi...gue nggak bisa ngertiin perasaan gue sendiri.”
“Bego banget sih loe! Makanya cerita ma kita-kita! Itu namanya jatuh cinta tahu!” kata Lie menengahi. “Gue juga pernah kok!”
“Sama siapa?” tanya mereka berasamaan.
“Tapi jangan ketawa ya! Sama...Tika, anak Indonesia itu.”
“Loe dah nembak dia? Gila, ternyata loe juga suka sama mereka ya?”
“Gue nggak berani. Takut dia malah jijik dan benci sama gue. Gara2 gosip itu, jangan2...dia memang menganggap gue sebagai homo. Gue nggak mau!!!” kata Lie kesal.
“Tenang man! Nanti kita bantuiin, kalo’ kita udah bisa care sama mereka!”
“Touya, kapan loe bisa sadar kalo’ loe cinta ma dia? Keburu ada yng nyambet lho! Gitu2...dia juga butuh cowok.” Kata Kai bersemangat.
“Gue ingetin loe, sebenarnya...Sakura itu dah pacaran. Tapi...pacarnya mati, waktu kelas 3 semester 1. Loe siap? Jika loe hanya sebagai pelarian? Bisa aja Sakura belum melupakan pacaran, dan menerima cinta dari loe sekedar untuk pelarian aja? Pikirin itu baik2, jika loe udah siap, silakan saja!” kata Ian santai.
“Gue...akan pikirkan baik2,” kata Touya lemas ketika mendengar ucapan itu. “Gue kira...loe belum ada yang punya. Pasti loe kehilangan banget ya Sa? Apa loe takut untuk mencintai lagi? Sebenarnya...gue butuh loe,” gumam hatinya yang sedikit terluka. “Loe punya orang lain. Pasti loe jadi tomboy gara2 loe ingin menunjukkan jika seseorang itu belum mati dalam hati loe. Gimana dengan gue, Sa?”.
“Ya, lihat tuch! Ngapain Angels ke sini? Ada Sakura lagi!”
Terlihat orang2 terkeren di sekolah sedang berhadapan, di tengah2 lapangan bola basket. Siswa2 di sana ribut meliahat kejadian langka seperti ini. Sakura berhadapan dengan Touya, mereka saling tatap. Tanpa expresi yang jelas, datar, itu yang cocok untuk situasi seperti ini. Sakura melipat kedua tangan di depan dadanya. Sedang Touya memasukkan kedua tangannya pada saku celana sekolahnya. Terlihat rantai2 saling menyimpul di sakunya.
“Ada yang bisa gue bantu?” Touya berusaha sekuat tenaga agar hatianya tidak berdebar.
“Aku ke sini Cuma sebentar kok! Touya, aku mau bilang, makasih.” Ujar Sakura sambil meninju lengan Touya. “Bye! Lain kali hati2 ya!” Sakura melambaikan tangannya pada Miracle.
“Cewek itu apa lagi sakit? Kok aneh banget? Apalagi tadi minta Touya hati2 dan...bilang makasih lagi!” kata Kai kagum. “Jangan2...dia juga suka sama loe!”
“Udah ah! Kalian jangan nggoda gue terus dong! Ntar malam jadi kumpul nggak?” ujar Touya sebal.
“Jadi donk man! Don’t angry, please! Just Kidding! Come on,” hibur Ian.

“Kamu dari mana aja?” tanya Ao setelah melihat adiknya pulang dengan muka capek.
“Main ke rumah Amy dan Juve. Ada salam dari teman2ku. Bagaimana dengan urusan papa dan mama? Apa...sidang sudah memutuskan? Fellingku buruk nich!” ujar Sakura sambil melepas kaos kakinya dan berjalan menuju dapur, minum. Kakak tercintanya membuntut di belakangnya.
“Keputusan sudah ditetapkan. Mereka akan berpisah mulai malam ini. Hak asuh ada di tangan papa kita. Tapi...kita akan tetap tinggal bersama. Tapi...papa akan tinggal di Amrik karena ditugaskan di sana. Kamu sabar ya, Honey!” ujar Ao penuh dengan tekanan. Dia kasihan melihat adiknya yang semakin hari semakin kurus dan wajahnya selalu pucat jika pulang ke rumah. Jika ditanya hanya capek dan nggak enak badan. Yang Ao herankan adalah, entah kenapa kondisi tubuhnya semakin melemah dan dia setiap hari harus minum obat penambah darah.
“Kak, aku masuk dulu ya! Mau cepetan tidur, selamat malam!” Sakura memeluk Ao dengan sayang. “Seandainya kakak tahu...,” gumam hatinya.
Di dalam kamar, Sakura menulis buku diary yang selalu ia isi setiap malam sebelum tidur. “Kak, maafkan Sakura jika Sakura meninggalkanmu sendiri. Sebenarnya...Sa sangat rapuh dan butuh perhatian seseorang yang bisa mengerti Sa. Tapi...Sa nggak mau ngrepotin kakak. Walau kakak tabah menghadapi semua, tapi Sa beda. Sa nggak kuat dengan semuanya.
“Sa nggak mau menyalahkan Tuhan, tapi...Sa ingin sedikit berkeluh pada-Nya. Kenapa dari dulu Sa selalu ditinggal oleh orang2 tercinta yang Sa punya. Kenapa nggak yang lain? Mulai dari kakek yang selalu menyayangiku, yang merawatku, lalu Saoran, dan sekarang...mama dan papa yang akhirnya harus berpisah. Sebenarnya aku hidup untuk apa? Jika tak ada orang2 yang menyayangiku? Aku tahu hanya Tuhan yang mencintaiku,”
Sakura menumpahkan perasaannya malam ini. Dia tak bisa menangis, itu karena papanya yang mendidiknya dengan keras agar dia tidak cengeng dan manja. Dia lupa kapan ia terakhir menangis. Waktu Saoran meninggal, sepertinya itu terakhir kalinya dia menangis. Memang dia tak bisa menangis, mungkin. Jika ia bisa menangis, ia akan berterima kasih pada orang yang telah membuatnya menangis.

1 MINGGU KEMUDIAN...
“Gue harus nyatain perasaan gue sama dia! Gue nggak boleh takut teringat kejadian seperti dulu! Gue yakin, Tuhan bakalan kasih kesempatan ma gue. Tapi...kapan?”
“Loe bakal datang ke pestanya si Lance?” tanya San.
“Gue malez banget! Sepupu gue itu orangnya aneh. Gue takut, nanti dia ngerjaiin gue lagi kaya’ waktu kelas 2. mampus dah gue! Malu tau!”
“Bener nich? Sayang, padahal ada sang putri yang jelas akan datang. Maksud gue...Sakura. Lance kan...temen deket Sakura waktu di Amrik!” San menawarkan.
“Udah dech, Touya! Ikut aja, buat hiburan tahu!” Kai bersemangat. “Gue...mau ungkapin perasaan gue yang dari dulu gue pendam.” Katanya lagi.
“Siapa???!!”
“Denger baik2. namanya...JUVE LEE!!”
“WHAT’S?JUVE?” tanya mereka serempak.
“Kok jadi kayak dapat durian runtuh ya? Banyak banget yang suka sama mereka.” Kata Touya.
“Habisszz...mereka cantik dan baik. Nggak kayak lainnya, yang hanya nyari popularitas dan nafsu doank! Memang mereka pernah mengharapkan cinta kita berlima?”Kai berucap.
“Nggak!” serempak.
“Ya udah! Mereka tuch beda dari lainnya. Ya nggak? Jangan bo’ong dech!” kata Lie
“Bener juga sih!” kata Ian menengahi. “Gue juga mulai suka sama Amy, tapi hanya sekedar kagum aja! Gaya bicaranya sopan dan penuh hormat. Orang se-cool gue aja bisa dibikin senyum sama keramahan dan kepolosannya. Gimana dengan loe San? Tanggapan loe sama Ryn?”
“Gue belum pernah lihat dia lepas kacamata, yang katanya cantik banget! Jadi masih penasaran aja! Sifat dewasanya melebihi gue tahu! Makanya gue takut kalo’ dia nggak suka orang kayak gue yang masih anak2 gini! He...he..he...” ucap San PD.
“Ok, gue putusin, semua harus ikut acara ntar malam!” kata Touya menyerah.
“Githu dong!! Itu namanya temen bisa ngertiin perasaan seseorang,” Kai tersenyum lebar, memperlihatkan giginya yang putih bersih dan tersusun rapi.

“Kamu harus ikut! Masa’ teman di Amrik nggak kamu jenguk? Kasihan lho! Namanya kamu udah nglupain dia!” ujar Juve bersemangat. Ini kesempatan emas untuk melihat sang ketua memakai baju pesta yang serba terbuka dan feminin.
“Nggak!! Pokoknya nggak! Nggak bisa bayangin aku pake baju serba terbuka kayak gitu. Bisa2 aku masuk majalah sekolah gara2 pake baju githuan!!” gerutu Sakura panjang pendek. “Trus bayangin dech! Masa aku harus jalan kayak putri githu? Padahal belum ada persiapan,”
“Pokoknya ikut aja! Aku yakin kamu yang tomboy juga pasti bisa jalan kayak cewek beneran. Karena itu dah fitroh! Setomboy-tomboynya kamu, pasti kamu bisa, kamu harus ingat kamu itu bukan cowok tapi cewek! Jangan terkubur sendirian dong didasar kesedihanmu. Kamu harus bangkit, karena Saoran ingin lihat kamu bisa bangkit dan melaksanakan amanatnya. Kamu nggak boleh terus2an mikirin Saoran yang jelas2 bikin dia sedih lihat kamu dari surga karena gara2 dia kamu nggak bisa merasakan cinta lagi! Gara2 dia kamu nggak bisa hidup tanpanya. Dan pastinya Saoran akan sangat menyesal karena membuatmu seperti ini!” nasehat Ryn. “Aku juga akan berusaha memakai gaun walau nanti di pesta akan memalukan. Tapi aku harus berjuang, karena aku harus ingat, aku adalah cewek!!! Kamu ngerti Sa??!” tekan Ryn.
Sakura tersentak mendengar tekanan itu. Benar juga apa kata Ryn, dia sudah terlalu jauh untuk mencintai dan terus menerus terkubur dalam kesedihan yang jelas2 membuat Saoran yang sedang ada di surga sedih melihat keadaannya seperti ini. “Baiklah, aku akan ikut!” akhirnya ia menyerah.
“Nah gitu donk! Jangan ngubur diri lagi ya! Kan banyak hati yang lagi nunggu kamu sadar dari tidur panjangmu untuk bercinta!” kata Amy menyemangati.
“Kami akan membantumu, Sa!” mata Tika sudah berbinar2, wajahnya menunjukkan kalau dia sangat senang dengan perubahan sahabatnya.

MALAM DI RUMAH LANCE...
Lagu Bethoven mengalun indah mengiringi para tamu undangan yang sedang menikmati acara sambil menunggu tamu lain yang datang memenuhi undangan. Pesta dilakukan di belakang rumah, taman belakang yang luas dan banyak bunga2. Touya sedang berbincang2 asyik dengan sang empunya pesta.
“Touya! Kamu akhirnya datang!” mereka bersalaman lalu mencium kedua belah pihak pipi kanan dan kiri. “Lama nggak ngobrol, kamu terlalu sibuk dengan teman2 gankmu itu! Jadi aku sungkan tahu!”
“Sorry! Kamu cantik malam ini,”
“Kamu emang dari dulu selalu menggoda aku. Dari kecil tahu! Tapi sorry ya aku udah ada yang punya! Tuch orangnya! Ga!! Sini!” ujarnya.
Malam ini Lance menggunakan gaun berwarna kuning gading yang banyak dihiasi pita. Lengan dan dadanya setengah terbuka, memperlihatkan kulit mulus dan terawatnya. Seorang laki2 yang tingginya sama dengan Touya menghampiri dia, jas hitamnya pantas untukknya. Dari raut wajahnya di berasal asli dari Indonesia.
“Kenalin, dia sepupuku” kata Lance membawa keperkenalan.
“Touya,”
“Rangga. “
“Lance, selamat ulang tahun!” Rangga memberikan bungkusan kecil yang dibungkus kertas kado berwarna putih.
“Oh thank’s Ga!” Lance menerimanya dengan suka cita.
“Lance, aku permisi dulu.” Kata Touya menengahi sebelum mereka berciuman. Touya memang tak suka melihat sepupunya berciuman dengan orang lain. Karena sebenarnya...Touya dan Lance pernah pacaran walau hanya 1 bulan tanpa sepengetahuan orang tua mereka. Dan...yang mencium Lance pertama kali adalah dia. Dia masih ingat bagaimana rasanya.
“Touya! Disini!” para Miracle sudah berkumpul di salah satu tempat yang mereka pakai, di dekat para bunga2 mawar.
“Dari mana aja loe? Kita tungguin lho!” kata Kai.
“Kenapa kalian molor sih? Makanya aku ke sini dulu mau ngobrol sama Lance. Eh, ngomong2 kenapa pilih tempat di sini?”
“Kita nggak suka keramaian. Lagian kita nggak kenal sama mereka, semua teman2 Lance. Coba dia di sekolah kita dan belum punya pacar, pasti aku sudah nembak dia duluan!” kata Kai lagi.
Touya membalikan badan, memandang ke arah sepupunya, mereka masih berciuman. “Sudahlah, jangan dilihatin!”
“Di sini kita bisa lihat siapa aja yang datang. Dan kami sengaja disini untuk mencari para putri yang belum datang!” kata Kai bersemangat. “Chees dulu donk!” semua mengangkat gelas sampanye masing2 dan bersulang.
“CHEESS!!”
Mereka tampak tampan dengan baju formal. Touya dengan Tuxedo warna hitamnya, rambutnya yang lurus coklat disisir rapi yang dibelah pinggir. Kai dengan Tuxedo abu2nya, tampak lebih tampan dari biasanya. Ian dan Lie memakai jas hitam, dan San jas warna indigonya.
“Duh, sulit banget sih! Mana ribet pake ginian!” ujar Juve.
“Tapi kamu cantik lho! Ayo kita ke Lance dulu, sedikit menyapa sich!” kata Sakura. Mereka berlima menuju Lance yang sedang berbincang2 dengan tamu lain.
“Tuh! Mereka datang juga!” ujar Lie.
“Mereka tampak habis turun dari surga ya! Nggak dandan cantik, apalagi dandan. Gini dech jadinya! Untung loe ikut, Ya!” Kai bersemangat.
“Sa, loe cantik banget! Gue jadi tambah berdebar2 gini. Ni semua gara2 loe,” batin Touya. “Andai loe tahu, gue pasti bakal malu setengah mati! Padahal loe bukan siapa2 gue.”
Sakura dengan gaun pesta Dark Bluenya yang dihiasi bordir bunga2 kecil. Di sampingnya diberi sekeng yang dijahit rapi dan diberi aksesoris bunga sakura, seperti namanya. Setengah dada dan lengannya dibiarkan terbuka. Rambut panjang belah tengahnya sedikit dikepang, lalu dijepit di belakang dengan pita kecil berwarna hijau tua. Sepatu hak kecilnya membuat dia tampak anggun. Tak lupa dia memakai anting2 dan kalung berbandul kupu2. Tangannya membawa bungkusan yang sudah dibungkus dengan rapi.
Disusul oleh Juve yang memakai gaun long dress yang pas untuk tubuh rampingnya warna hijau gelap, dipadu dengan bandana warna serupa. Lalu Amy yang memakai gaun mengembang warna Dark Teal. Ryn memakai gaun yang berlengan panjang warna Olive Green, dan Tika Chines dress warna coklat kopi.
“Sana, coba loe sapa sang putri!”
“Nggak, dia mau ngobrol sama Lance.”
“Hai Sa, lama nggak jumpa. Akhirnya ketemu lagi ya! Hai!” sapa Lance ramah.
Satu persatu mengucapkan selamat ulang tahun dan memberi ciuman pada pipi Lance. “Sorry nggak pernah balas emailmu, aku sibuk sama rumah. Kenalin, ni temenku yang baru, yang ini Juve, Ryn, Amy dan Tika!”
“Lance. Makasih ya, udah mau datang! Oh iya, kenalin ni cowokku, Ga, ni temen2ku.” Ujar Lance ramah.
“Rangga,” lalu yang lainnya mulai memperkenalkan diri.
“Kamu nggak sama pacar kamu? Kebetulan, ada Touya sama teman2nya. Tuh di sana!” tunjuk Lance, Sakura menggeleng, Sakura mengikuti telunjuk Lance yang mengarah pada manusia yang sedang memandang ke arah mereka.
Pandangan mereka saling bertemu. Tiba2 ada sebuah pukulan yang mengenai telak hatinya. Sebuah debaran yang sangat tiba2, yang membuat kedua insan berbeda jenis itu memalingkan wajah mereka. Akhirnya, Sakura disadarkan oleh Juve. Mereka permisi untuk mencari tempat, menunggu acar dimulai.
“Kenapa dg jantungku? Tiba2 berdetak sangat cepat walau hanya sekejap?” Sakura membatin.
“Kenapa selalu seperti ini? Gue bener2 tersiksa!” batin Touya bergulat.
“Selamat malam semuanya, saya Rangga yang akan membimbing kalian pada acara malam ini, yaitu acara pesta ulang tahun Lance Otucifa yang ke-18. langsung saja kita mulai acara malam ini.” Dengan semangat yang menggebu2 Rangga memimpin acara.
Setelah berbasa-basi terlebih dahulu, disusul pemotongan kue dan do’a untuk Lance. Lalu ada sedikit lomba yang membuat semua terkejut.
Yaitu harus berdansa dengan pasangan yang ditentukan dengan kocokan. Saat mendengar pengumuman undian dansa bersama, hati kedua insan itu terlonjak karena kaget.
“Gue nggak mau! Tukuran donk!” ujar Touya.”Dasar Lance sialan. Katanya nggak bikin acara yang aneh2. Dasar pembual nggak laku! Makanya gue nggak suka ikut acaranya karena pasti dia kayak gini! Pokoknya tukeran!”
“Nggak ah! Gue dah PW(paling wueennak!) kebetulan banget, gue dah ma inceran gue, si Juve!” ujar Kai senang.
“Loe?” tanya Touya masih berusaha agar dia tidak berpasangan dengan Sakura.
“Nggak ah! Gue paling nggak bisa dansa sama cewek singa kayak dia. Ya nggak?” San mencari dukungan teman2nya.
“Ya!! Eh tukeran donk!” ujar Ian dan Lie.
“Dengan begini, loe mau nggak mau harus pasangan sama dia. Bye Touya!” mereka meninggalkan Touya yang masih bingung.
“Sialan kalian!!” geramnya. Touya menjauh dari tempat pesta. Dia berjalan2 mengitari rumah Lance.
Di sudut dekat bunga lily bermekaran, seseorang duduk di tempat yang tersedia. Dia memijat kakinya. Touya menjamkan pandangannya, dia terkejut setelah tahu siapa sosok itu.
Mukanya tiba2 memerah, dia mendekap mulutnya. Menelan air ludahnya dan menghirup udara sebanyak2nya. Menenangkan hati dan pikirannya. Touya...melihat bidadari itu menggunakan gaun yang kemungkinan tidak pernah ia gunakan seumur hidup. Mungkin jika anak sekolah ada yang tahu, dia jadi cover majalah favorit anak2. Yang pastinya Touya tidak menyetujuinya.
“Coba gue sapa. Gue penasaran, lagi apa dia di sana? Bukannya ada lomba? Wajahnya kelihatan seperti kesulitan,” gumam Touya. Dia memantapkan hati untuk menyapanya.
Sakura terus memijiti pergelangan kakinya yang sakit. Dia tadi terkilir waktu turun dari mobil. Dia sudah menahannya sekuat tenaga tapi tetap sakit. Keringat sedikit muncul dari pelipisnya.
“Aduh, jangan keringatan dong! Nanti make upnya luntur semua,” gerutunya. “Mana pake acara terkilir segala lagi! Udah mulai acaranya. Kira2...pasanganku siapa ya? Moga aja nggak nyari aku,” Sakura membuka undian yang diantarkan Juve padanya.
“Sorry, ganggu nggak?” tanya seseorang. Sakura mengangkat wajahnya. Deg! “Kamu ngapain di sini? Nggak ikut acara?” tanyanya.
“Lho? Dia ngapain ke sini? Dia...pasanganku, apa dia nyari aku untuk itu? Nggak! Aku nggak mau dansa sama dia. Aku bisa ingat sama Saoran!” gumamnya kecil. “Oh ini, aku habis terkilir gara2 make sandal ginian! Apaan sich!” Sakura melengos dan melempar sepatu haknya satu persatu, sebal.
Touya memungutnya, dan lebih dekat pada Sakura. Lalu pemuda itu menyodorkannya. “Loe akan perlu sepatu itu untuk pulang. Kalo’ loe mau pulang gimana? Masa nggak pake sepatu?” Touya tersenyum lucu.
Deg!! Sakura memegang dadanya,”tak apa kalo’ nggak pake sepatu. Kamu sendiri ngapain? Nggak ikut mereka?” tanya Sakura pura2 tak mengerti.
“Loe selalu pura2. Loe sebenarnya sudah tahu kan? Kalo’ kita tuh pasangan dansa. Masa’ pasangannya nggak ada, terus gue harus ikut, dansa sama siapa gue? Mendingan nggak ikut aja, dari pada dansa sama setan?” Sakura terkikik kecil, lucu.
“Ternyata dia baik, tak seperti dugaanku selama ini. Atau aku jadi temannya?” Sakura berpikir. “Kalo’ gitu, dari pada bengong di sana, temenin aku di sini!” tawarnya.
“Bener nggak apa?” Touya menekan nada suaranya agar tak terdengar nada suara sebenarnya, dia sangat senang. Sakura tersenyum dan menyilakan, membuat jantung Touya berdegup kencang kembali.
Mereka diam, tak seorang pun ingin memecah kekikukkan keadaan. Masing2 bingung ingin berbicara.
“Bajumu bagus!” puji Sakura mencoba memecahkan keheningan.
“Thank’s! Bisa gue lihat kaki loe? Mungkin gue bisa sedikit meringankan sakitnya,” ujar Touya. Sakura terlihat berpikir sejenak, lalu mengangguk. “Angkat kaki loe! Tahan bentar ya! Agak sakit,” ujar Touya.
“Ya, jangan pake loe gue dong! Nggak enak, kayaknya nggak akrab banget!” Sakura meminta yang dijawab Touya dengan senyuman tanpa menatap Sakura.
“Dari dulu...memang kita nggak akrab kan, Sa? Gara2 aku yang pertama kali bikin kamu benci sama aku. Aku juga benci diriku sendiri yang nggak bisa jujur sama perasaanku yang sekarang terhadapmu. Aku tahu, aku memang suka padamu. Tapi aku takut, jika kuungkapkan kembali, kamu akan teringat kejadian dulu. Dan mungkin...kamu akan benar2 membenciku. Tapi Sa, aku tersiksa,” Touya membatin.
Touya mulai memijit pergelangan kaki Sakura dengan extra hati2. Dia tak mau Sakura kesakitan karenanya.
“Aww...! sakit banget,” gumam Sakura pelan.
“Kalo’ kamu nggak tahan, aku sudahin deh! Aku nggak kuat lihat kamu kesakitan. Atau...”
“Nggak, terusin aja!”
“Kamu boleh pegang bahuku jika sakit,” tawar Touya. “Aku akan senang sekali jika kamu menyentuhku,” gumamnya dalam hati.
“Aku tak mau kamu menghentikan sentuhan ini. Aku menyukainya. Entah kenapa, saat kupegang bahumu dan kamu memijit kakiku dengan hati2 itu membuatku senang. Sesuatu yang hangat mengaliri darahku, merambat dari tanganku. Apa aku menyukaimu, Ya?” Sakura membatin, “tapi itu tak mungkin. Kamu mungkin sudah berubah menjadi pria yang baik. Tapi tidak bagiku,” lanjutnya. “Sebenarnya aku sakit dari dulu.”
“What?” tanya Touya heran, karena Sakura tiba2 meluncurkan perkataan seperti itu.
“Tak apa, jika aku curhat ke kamu?”
“Gimana kalo’ saat ini kita jadi teman? Mungkin aku bisa membantu. Maafkan saat kejadian dulu ya! Aku sangat sombong waktu itu,”
“Hi..hi..hi..kamu belum nglupaiin kejadian dulu ya? Aku sudah memaafkan kamu dari dulu kok!” akhirnya mereka tertawa.
“Hah...!” Sakura mendesah. “Sebenarnya...dari dulu aku sakit. Hanya saja, tak ada seorangpun yang tahu, kecuali kamu.” Touya tertawa. “Aku...butuh seseorang untuk mengobati hatiku,”
“Apa maksudnya?”
“Ah! Tak usah kamu pikirkan. Hanya luka ringan kok!”
“Ayolah Sa!” Sakura menggeleng, Touya terpaksa mengalah. Lalu mata mereka beradu pandang.
“Nah,sudah selesai!”
“Thank’s!” ujar Sakura senang. “Lumayan. Mungkin aku akan pulang dengan langkah tertatih.”
“Mau kuantar pulang?”
“Yang benar saja?”
“Tenanglah, aku tahu rumahmu kok! Pesta masih lama, kita kabur saja!” Sakura mengangguk. Dia memang sudah lelah dengan dandanan ini.
Touya berjalan di depan, lalu memencet remote control mobilnya. Sakura mengekor di belakangnya. “Mudahkan?” Sakura tersenyum.
Sepanjang perjalanan, mereka berdua tetap mengunci mulut mereka. Hanya irama Linkkin Park, My December yang mengalun, mengiringi kebisuan di antara mereka.
Sampailah mereka di depan rumah bercat biru langit. Tapi...Sakura belum turun. Dia ingin Touya sedikit berbicara padanya. Ada harapan. Tapi...sekian lama Sakura menunggu, Touya tetap bungkam.
“Yup! Thank’s buat tumpangannya. Aku turun dulu, selamat mal...” saat Sakura akan membuka pintu, Touya menghentikannya, cowok itu meraih pergelangan tangan Sakura.
“Aku suka kamu,” ujar Touya tegas.
Sakura mendekap mulutnya tak percaya. “Apa...kamu sakit gara2 angin malam, Ya?” Sakura menyentuh dahinya. Tapi Touya menepisnya lembut.
“Aku sungguh2. Kalo’ kamu nggak percaya...aku bisa buktiin, kalo’ aku suka sama kamu!”
“Hei...what happend with you?”
“Aku tahu kamu belum bisa nglupain Saoran yang telah menggoreskan kenangan indah padamu. Tapi aku tak akan sakit hati jika kamu menjadikanku hanya sebagai pelarian. Tapi... aku akan berusaha membantumu untuk melupakan Saoran. Percayalah Sa!!” Touya meletakkan tangan telapak tangan Sakura di dadanya.
“Dengarkan, aku benar2 tersiksa dengan hati yang seperti ini. Selalu saja jika bertemu walaupun itu tidak sengaja hatiku selalu seperti ini. Aku benar2 butuh kamu, agar hatiku tak seperti ini!”
“Ak-aku...juga merasakan hal yang sama denganmu akhir2 ini. Aku tak tahu kenapa aku jadi seperti inu. Sebelumnya biasa saja, tapi...lama kelamaan aku...juga berdebar2.” Sakura berusaha menyembunyikan wajahnya yang mulai memerah.
“Kamu mau, jika aku yang menggantikan Saoran yang ada dihatimu? Kamu mau aku yang mengobati hatimu yang berdarah itu?”
“Ak-aku tak tahu” Sakura menggeleng lemah sambil memalingkan wajahnya.
Tiba2 Touya mencengram tangan Sakura satu lagi, lalu tubuhnya merapat ke arah Sakura. Touya mencium Sakura. Sakura berontak, tapi ia tak mampu karena cengkraman Touya kuat. Jika ia berontak membuatnya sakit.
Touya tak mau melepaskan ciumannya, Sakura sampai harus menahan nafas. Air mata yang tidak bisa ia keluarkan 3 tahun ini, meluncur indah dari matanya. Rasanya lembut dan manis.
“Touya, kenapa kamu lakukan? Apa seperti ini rasanya dicium? Aku merasa melayang, dan...rasanya lembut. Sepertinya ciuman Touya tak mengandung racun yang bisa mematikan hatiku,” Sakura membatin.
Lalu Touya melepaskan cengraman dan ciumannya. Keduanya menarik nafas dalam2. Menetralkan oksigen mereka.
“Aku tak tahu apa kamu akan membenciku setelah aku menciummu. Tapi...asal kamu tahu, aku benar2 butuh kamu. Dan aku...akan meninggalkan kota ini jika kamu tak menerimaku. Tapi...itu terserah kamu,” Touya berujar. “Maafkan ak....”
Tiba2 Sakura meraih kepala Touya dan mengcup pelan, penuh sayang bibirnya. “Aku...menerimamu, Ya!” kata Sakura pelan.
Keduanya saling bertatapan, ada kebahagian di mata masing2. Touya menatap lekat2 wajah bidadari yang ia dambakan selama ini. Mereka saling bertatapan, sampai tak ada jarak diantara mereka.
Bulan menutup dirinya dengan bantuan awan malam yang melintas di depannya. Dia malu melihat insan yang sedang dikuasai kebahagian yang memuncak. Seakan ia tahu, bahwa ia hanya akan mengganggu mereka.
“Tok...tok...tok...” tiba2 seseorang mengetuk jendela mobil Touya. Reflek mereka berdua segera sadar dan melepaskan ciuman mereka.
“Good night, Goddes!” ucap Touya ditelinga Sakura.
“Good night too, bye!” kata Sakura mengakhiri pembicaraan malam ini.
Ternyata yang mengetuk adalah Ao, kakak Sakura. “Kamu ngapain sama cowok itu? Pacarmu? Ganteng banget!” ujar Ao setelah mereka masuk ke rumah.
“Iya, baru saja dia menembakku. Apa kakak setuju? Dia bahkan telah menciumku,”
“Kakak...itu terserah kamu. Kamu berhak bahagia, setelah selama ini kamu mengurung diri dalam lembah kesedihan. Semoga...dia dapat menggantikan Saoran ya! Namanya siapa?”
“Namanya...Touya Mathew.”

Pagi yang indah, burung2 saling bercicit, menambah keramaian kota Osaka. Tertentu di sekolah elite ini. Yang terkenal dengan cewek dan cowok yang keren abis.
Gadis bertubuh semampai itu berjalan kaki menyusuri koridor sekolahnya. Tangannya telah menenteng novel yang belum sempat ia baca.
Wajahnya terlihat senang dan ceria. Tapi tetap saja dia menyembunyikannya, takut ada yang curiga dengannya. Dengan gaya coolnya, dia duduk di bawah pohon sakura yang sedang bermekaran, karena ini musim semi, lalu dia membaca.
Tak lupa mulutnya tetap sibuk mengunyah biskuit yang diberikan kakaknya. Teman2nya belum datang, dia sengaja berangkat pagi2, karena dia ingin sekali menikmati udara pagi di bawah pohon sakura.
Sebuah tangan yang cukup besar, mendekap matanya. Sakura, ya...itu nama gadis ini. Dia menggerutu panjang pendek, tak suka seperti ini.
“Kamu lagi apa sih? Lepasin nggak? Atau aku akan teriak ada yang mau berbuat mesum sama aku?” ancamnya. Sebenarnya dia tak tahu siapa yang menutup matanya.
“Kok kamu serius gitu?” tanya seseorang itu, lalu dia membuka mata Sakura. Sosok itu sudah berjongkok di depannya sambil memamerkan senyum malaikatnya, menunjukan deretan giginya yang putih dan tertata rapi.
“Kamu sih! Aku kan siap2 aja, kalo’ kamu bener2 gimana?” Sakura melempar novel ke arahnya. Cowok itu tertawa. Ya...cowok yang kemarin malam menembaknya, Touya.
“Selamat pagi, angel!” Touya meraih dagunya yang manis, lalu mendekati wajahnya. “Cup!” Touya hanya mencium pipinya. “Aku nggak mau ada yang lihat kita ciuman. Masa didepan umum gini?” sindir Touya yang sudah merasakan hawa yang beda.
“Cepatlah kalian keluar!” Sakura juga merasakannya.
Terdengar kresek2 di semak dekat mereka dudu. Hanya 30langkah dari sana. Satu persatu dari mereka keluar dengan senyum yang dipaksakan, takut2. Terakhir adalah cowok2 yang Touya sayangi.
“Habis penasaran sih!” kata Juve sambil membersihkan lututnya.
“Iya! Kami mau nyelidikin apa bener kamu dah nembak Sakura? Cowok kayak kamukan sedikit bahaya!” kata Tika cemberut. Rambut yang ia banggakan jadi acak2an. Mungkin karena bersembunyi di tempat yang sempit, berdelapan lagi!
“Kami memang bener2 jadian kok!” kata Touya.
“Iya. Kami percaya. Hanya aja...nih cewek2 ini yang masih nggak percaya. Katanya ni fhoto hanya rekayasa!” ujar Kai sambil mengeluarkan hpnya, dan menunjukan pada Touya dan Sakura.
Mereka berdua membelalakan mata, “dapat dari mana?!!” mereka berdua menyerang Kai.
Kai menggaruk2 rambutnya yang tidak gatal. “Aku dapat dari...diriku sendirilah! Aku yang lihat kalian begini kok! Waktu kamu duduk berdua sama Sakura, aku jadi curiga, sebenarnya kamu mau apa sih sama Sakura. Akhirnya kamu kubuntuti!
“Ternyata kamu ambil jalan menuju rumah Sakura. Aku tahu, mungkin kamu yang membawa Sakura pulang, karena...Juve tanya sama aku kalo’ Sakura hilang. Aku ambil jalan beda dan sampai duluan sebelum kalian. Kuparkirkan mobil diseberang, dan kumatikan mesin. Eh...nggak tahunya kalian ciuman!” kata Kai berpura2 bodoh.
“Tapi...kami masih nggak percaya!” protes mereka bersamaan. “Tunjukin juga dong!”
“Pake apa?” San berpura2 bodoh. Sebenarnya mereka sedang menjebak kedua pemimpin mereka.
Touya dengan sigap memeluk Sakura yang terasa begitu kecil baginya. Padahal, gadis itu sebenarnya jangkung dan berisi, aneh, pikir Touya.
“Puas?” mereka menggeleng.
“Ciuman dong!!” ujar mereka bersamaan.
“Gila kalian!” Sakura yang sedari tadi diam jadi salah tingkah. Dia melihat gerak-gerik Touya yang mulai aneh. “Jangan Ya! Jangan di sini,” tapi terlambat, Touya sudah membungkam mulutnya dengan sentuhan bibirnya.
“Klick!” terdengar bunyi jepretan, lalu lampu blitz menerpa mereka.
“Kita dapat fhotonya!!” teriak Juve bangga. “Makasih Kai!” mereka berdua saling berjabat tangan.
“Hei! Apa2an kamu?!” tanya Tika sambil melerai mereka. “Sembarangan main jabat tangan orang?” semburnya.
Kai dan Juve saling berpandangan, lalu tertawa. “Kami udah jadian tahu! Sepulang dari intaian Sakura. Kujemput Juve yang udah standby dirumah. Mukanya capek banget tahu! Terus dia awalanya ngusir aku, tapi...langsung kuucapkan saja!” ujar Kai.
“Kalau kalian?” tanya Sakura pada Tika, Amy dan Ryn yang masih bengong.
“Hah? Aku?” tanya Ryn. “Mana ada yang mau sama aku?” pikirnya.
“Aku belum tahu. Akukan jelek!” ujar Tika.
“Nggak! Kamu tuh manis!!” tiba2 Lie setengah berteriak. Padahal anak ini dari tadi hanya diam mendengarkan. Tika bengong, tiba2 Lie yang pendiam itu bisa teriak.
“Udah deh! Sekarang kita ke kelas masing2!” ujar San menengahi.

3 minggu kemudian...
“Hai! Sorry, akhir2 ini aku sibuk jadinya aku nggak bisa ketemu kamu terus.” Ujar Touya.
“Tak apa. Aku juga nggak kangen sama kamu!” ujar Sakura cuek.
“Bener nih? Tapi aku kangen berat ma kamu,” mereka tertawa. “Hmm...gimana perasaan kamu yang sekarang? Sudah sedikit kenangan bersama orang itu yang lunturkah? Apa kamu masih suka bersedih memikirkannya?” Touya duduk disamping Sakura.
Mereka berdua sedang menikmati bulan purnama malam itu. Di atas bukit yang menghijau. Mereka bisa meliaht ke bawah, pemandangan kota yang sangat indah. Jika melihat ke atas kita akan melihat bintang, dibawahpun juga. Lampu kota sama persisnya dengan bintang2 di atas.
“Sudah. Aku sudah jarang memikirkannya. Aku juga sudah tak pernah menangis untuknya,” Sakura menatap Touya.
Angin malam berhembus, membuat bulu kudu Sakura sedikit meremang, dingin. Walau dia memakai kaos dan celana jeansnya, tetap saja dingin. Dia mengusap2 bahunya yang kedinginan.
“Bruk!” tiba2 kemeja Touya yang ia kenakan malam itu sudah menempel di badannya.
“Kamu lebih butuh dari pada aku. Sa, aku cinta kamu!” ujar Touya. Sakura tertawa. “Jika masih dingin mendekatlah,” Touya membuka tangan kirinya. Sakura berdiri, membuat pemuda itu heran. Tapi, Sakura duduk kembali di depannya.
“Jika kamu ingin merengkuhku, jangan disamping, karena Saoran dulu melakukan itu padaku. Buatlah sedikit berbeda.”
Touya segera merengkuh tubuh Sakura. Tangan kanannya melingkari leher gadis itu, lalu tangan kirinya memeluk pinggangnya. Pemuda itu menaruhkan kepalanya di pundak sakura.
Sehingga, Sakura bisa mendengar hembusan nafasnya yang membuatnya hangat. Sakura juga mendekap tangan milik Touya.
“Ya, seandainya...jika aku mati bagaimana? Mungkin aku mati karena suatu penyakit yang berbahaya, dan selama ini aku menyembunyikannya. Itu hanya misalnya lho!” ujar Sakura.
“Aku nggak bakal relain kalau kamu tinggalin kau sendiri di sini. Dan...itu tak akan terjadi. Aku akan selalu menjagamu. Jika kamu mati aku akan selalu setia pada cintaku, tak ada yang bisa menggantikan posisimu. Karena kamu selalu ada dihatiku, selalu hidup, mengisi kehampaan hidupku,”
“Tapi...kemungkinan hal itu akan terjadi Touya. Maafkan aku, hanya keajaiban saja yang akan memberiku kesempatan bertemu denganmu. Entahlah, aku tak tahu kapan ini akan berakhir. Semoga Tuhan mau memberikan waktu yang agak lama padaku, agar aku bisa bercinta denganmu,” gumam Sakura dalam hati.
“Oh iya, kamu akan datang dalam lombaku kan? Aku nanti nggak semangat kalo’ kamu nggak datang.” Ujar Touya sambil mencium pipi Sakura.
“Aku pasti akan datang. Tenang saja!” Sakura merapatkan genggamannya.
“Ok, kau tunggu janjimu di sana! Lihat saja, aku pasti akan membawakan piala kemenangan untukmu. Setelah itu, beri aku hadiah!”
“Hadiah apa? Apa yang kamu mau?”
“Datang ke rumahku, makan malam. Tenang, di sana tidak ada siapa2. Dan itu hadiah yang kau inginkan darimu! Hanya datang untuk makan malam saja kok!” Sakura menjawab dengan senang.
Malam semakin merambat, semakin dingin, dan semakin gelap. Akan tetapi dengan adanya sinar bulan purnama menjadi terang. Kedua sosok itu memutuskan untuk mengakhiri pertemuan malam ini.

“Nona, sebaiknya segera ditangani. Ini sudah parah. Kalau tidak, nyawa Anda dalam bahaya. Bisa2 tidak terselamatkan. Selama ini Anda minum apa?” tanya sang dokter.
“Hanya obat penambah darah. Dan dosisnya saya tingkatkan. Setiap hari saya minum itu. Saya tidak tahu jika sudah parah. Memang akhir2 ini obat tersebut sudah agak nggak mempan. Apa...nggak ada cara lain, dok?” tanya sang pasien.
“Tidak ada. Anda harus menjalani tranfusi darah. Tapi...kami sedang kekurangan untuk golongan AB. Kita harus cepat mencari donor darah!” dokter memperingatkan.
“Baik, saya akan datang 3 hari lagi. Dengan golongan ynag sama dengan saya. Terima kasih, permisi!” dokter menyilakan sang pasien.
“Sayang, masih muda sudah parah sakitnya. Kasihan orang tuanya, anak secantik itu ternyata terkena leukimia satdium 3. Tapi yang membuatku heran, dia bisa bertahan hanya dengan meminum obat penambah darah. Apakah ini sebuah keajaiban?” gumam sang dokter sambil memijat kepalanya, bingung.

Pagi yang menegangkan. Karena perlombaan basket tingkat SMA di Osaka akan segera dimulai. Bangku penonton cukup padat, akan tetapi tidak mengurangi niat mereka untuk menonton aksi para pemain.
Terlihat sangat berbeda dari mereka, 5 orang cewek2 yang sudah duduk dari tadi pagi agar mendapatkan tempat yang strategis untuk menonton. Salah satunya adalah Sakura yang mengantarkan kekasihnya sampai lapangan sebelum perlombaan.
Akhirnya saat yang ditunggu2 datang. Tim Miracle dan lawannya saling berhadapan. Dimata Sakura, mereka jauh lebih beda dari biasanya. Peluitpun berbunyi, menandakan perlombaan mulai.
Bola sudah ada ditangan Lie, dia mendrible dengan lincah dan cepat. Lalu Touya berlari cepat ke arah gawang lawan, disusul Kai yang sudah ada di belakangnya. Dibangku penonton, para Angel tak bernafas, karena mereka menahannya. Tegang.
Lie mengoper ke Kai dan Kai mengoper ke Touya. Dengan tembakan yang tepat, dia mencetak angka pertama. Semua bersorak girang dari para suporter sekolah Miracle. Touya dipeluk oleh teman2nya. Lalu dia memandang kebangku penonton, mencari sang kekasih. Gadis yang ia cari sedang menontonnya. Lalu Sakura mengacungkan jempolnya, pertanda hebat.
Matahari terus naik, membuat sinarnya memasuki lubang2 di dalam stadion. Miracle terus menerus mencetak angka, membuat lawan geram pada mereka. Wajah2 itu tak sedikitpun menunjukkan rasa lelah. Padahal mereka dari tadi main dengan semangat yang menggebu2.
Tak terasa perlombaan usai. Dengan skor yang sangat hebat untuk Miracle. Terakhir mereka saling berjabat tangan. Touya terus memamerkan senyumnya, membuat penonton yang rata2 dari kalangan gadis itu terpesona.
Setelah agak sepi, gadis2 yang tak dikenal turun, dan saling berebut menjabat tangan Miracle. Angel kebingungan, Juve agak marah. Membuat Sakura ingin tertawa.
“My, aku ingin bicara sama kamu setelah perlombaan selesai. Tunggu aku di depan mobilku ya! Jangan lupa bilang sama Juve kamu sedang ada urusan. Aku tunggu ya!” kata Ian ketika bertemu Amy.
Hati Amy resah, sebenarnya cowok itu mau bicara apa dengannya yang lugu. Sakura melihat kebingungan sahabat baiknya. Dia tahu masalah Amy, karena dia bercerita pada Sakura.
“Tenang saja! Pasti semua akan baik2 saja. Aku percaya pada Ian, dia bukan pemuda yang jahat. Jika ada sesuatu yang terjadi padamu, aku akan membunuh Ian.” Sakura mencoba menghiburnya.
“Terimakasih, kak!” mata Amy berbinar kembali.
Ian mulai menghilang, Amy sampai harus berkeliling untuk memastikan jika Ian sudah duluan. Lalu dia mendekati kakaknya dengan takut2.
“Kak, aku pergi dulu ada urusan!” katanya pelan, membuat Kai berteriak keras.
“Maaf Kai, adikku memang tak bisa berkata keras. Jangan dibentak donk! Diakan hatinya gampang terluka! Baiklah, jika ada apa2 telfon aku ya!” Amy mengiyakan, lalu pergi.
“Adikmu aneh ya Ve. Dia sensitif? Berarti dia udah aku takutin donk! Aduh...! aku takut kalo’ dia marah sama aku dan nanti nyuruh papamu nggak menyetujui hubungan kita, gara2 aku bentak dia. Aduh!”
“Tenang saja, Amy tak pernah dendam dengan seseorang, walau kamu yang pacarku. Apalagi...dia udah dewasa, bukan anak2 lagi yang apa2 pasti melapor pada orangtuanya bukan?” Kai mengangguk.
“Setelah ini kamu mau kemana?” tanya Kai lembut.
“Nggak kemana2. Aku ada kado buat kamu lho!”
“Mana?” mata Kai berbinar karena mendengar Juve akan memberikan hadiah.
“Jangan disini. Aku malu!” wajah Juve tersipu.
“Kenapa mesti malu? Memang apa hadiahnya?” Juve menggeleng. “Please Ve! Jangan bikin aku penasaran. Sekarang aja!” Kai semakin penasaran.
“Ok. Kita kesudut dulu!” kata Juve menengahi. “Ini hadiah yang kumaksud,” Juve mencengkram kerah baju Kai lalu sedikit berjinjit, agar ia bisa mencium Kai.
Kai kaget setengah mati, karena refleks. Juve menikmati ciuman itu, walau bukan berasal dari Kai. Ia harus memecah kekakuan diantara mereka. Selama Kai berpacaran dengan Juve, dia sedikitpun tidak pernah menyentuh gadis itu. Terlalu kaku dan datar.
Juve sempat sebal dengan Kai yang selalu tidak pernah berubah. Juve berpikir, Kai mungkin berpendapat jika ia menyentuhnya ia akan sakit. Padahal dia ingin sekali Kai memeluk atau menciumnya seperti Touya lakukan pada singa betina.
“Kamu belum pernah sedikitpun menyentuh sehelai rambutku. Maka aku terpaksa melakukan ini. Hubungan kita terlalu kaku, Kai. Jadi...kita putus saja ya!” ujar Juve pelan, dengan senyuman yang dipaksakan.
Kai terkejut setengah mati, jantungnya terasa tak berdetak. “J-jangan Juve!” sentaknya. Tiba2 ia memeluk Juve dengan erat. “Jangan tinggalin aku begitu saja! Kita bicarakan baik2 masalah ini.” Kai meyakinkan.
Juve sudah menangis, tapi dia menggeleng. “Aku tersiksa dengan semua ini Kai. Aku tak sanggup lagi! aku! Ini sudah keputusanku.” Juve tetap menangis.
Tiba2 Kai mencium Juve, tanpa sengaja Sakura melihatnya, lalu menyenggol Touya yang berdiri di sampingnya. Pemuda itu menoleh, dan tersenyum.
“Akhirnya...kena jebakkan Juve ya!” ujar Sakura bangga.
“Kamu tega, Sa. Masa’ si Juve disuruh acting kayak gitu? Didepan umum lagi!” Touya mengacak rambut Sakura.
“Jangan tinggalin aku, Ve. Aku butuh kamu. Hanya kamu yang bisa menghibur diriku dikala aku sedang sedih dan susah. Aku...” Juve meletakan telunjuknya di depan mulut Kai.
“Tidak.” Juve menggeleng. Kai saat itu ingin sekali bertekuk lutut, sujud dihadapan Juve agar tak memutuskannya. “Aku tidak akan meninggalkanmu,” lanjut Juve. Pemuda berkulit gelap itu bengong. “Aku berubah pikiran, Kai. Kamu sudah menunjukkan padaku bahwa kamu benar2 suka padaku. Terima kasih!” Juve merangkul leher Kai, pemuda itu memeluknya erat. Seakan2 tak ingin melepaskan Juve bersama dengan angin yang melintas.
Juve juga membalasnya dengan senyum bahagia. “Nanti malam kuajak kamu kenalan sama orang tuaku.” Kata Juve kemudian.

“My, aku suka kamu. Kamu mau menemaniku? Aku nggak tahu apa kamu juga menyukaiku. Maaf kalau aku membuatmu bingung. Tapi...aku ingin jawabanmu sekarang. Karena...aku punya masalah,” kata Ian sambil tertunduk. Dia tak mau memperlihatkan wajahnya, karena ia tak mau cewek didepannya tahu kalau dia sedang punya masalah besar, yang menentukan masa depannya.
“A-appa?” tanya Amy getir. “Em...bisa kamu ceritakan dulu, masalahmu itu padaku?”
“Masuklah ke dalam mobil, kita pergi dari sini. Akan aku ceritakan masalahku!” masih dengan persaan yang bingung, Amy mengikuti perintah Ian.
Sampai di sebuah restorant, Ian menghentikan mobilnya. “Sekalian makan. Kamu belum makan kan?” Amy menggeleng lemah, wajahnya tertunduk. Dia menahan mati wajah yang mulai merah padam.
Setelah mereka memesan, akhirnya Ian bercerita tentang masalah yang sedang ia alami di dalam keluarganya.
“Mama dan papa sedang mencarikan jodoh untukku, agar aku bisa menjadi penerus papa dengan perusahaannya. Dia akan menikahkan aku dengan anak direktur dari perusahaan komputer lainnya. Aku nggak ingin hal itu terjadi, karena aku punya seseorang yang ada dihatiku, kamu orangnya.
“Papa telah memberikanku satu kesempatan padaku. Jika aku tak punya seseorang yang spesial dan mau dikenalkan pada kedua orang tuaku, maka pernikahan itu akan terjadi. Mungkin aku akan menikah diusia yang masih muda, setelah aku tamat sekolah.
“Jadi...sekarang semua jawaban berada ditanganmu. Jika kamu mau menikah denganku, akan kuajak kamu kerumahku. Bagaimana jawabanmu?” Ian sedikit menekan nada suaranya, ia ingin Amy tahu.
“M-mmenikah? Setelah sekolah?” Ian mengangguk. “Ak-aku tak bisa,” kata Amy menyesal.
“...K-kenappa?” Ian kaget.
“Aku ingin sekolah tinggi. Maaf aku tak bisa.”
“Tap-tapi...ah, sudahlah. Kita memang bukan jodoh. Aku tidak memaksa. Ayo kita pulang, urusan selesai,” jawab Ian lesu.
“Tappiii...aku ingin mengajukkan sebuah syarat, dan aku pasti akan menikah denganmu. Bisakah?”
Mata Ian berbinar senang, ternyata ada satu kesempatan. “Apapun itu!”.
“Baiklah. Kita akan menikah setelah lulusan sekolah, waktunya 3hr setelahnya. Tapi...setelah itu, izinkan aku pergi untuk kuliah di London. Dan kita bisa bertemu jika kamu mau. Akan kulonggarkan waktuku untuk dirimu,” kata Amy. “Sejujurnya...aku juga...cinta sama kamu,”
“Bagaimana dengan orangtuamu?” tanya Ian.
“Itu masalah gampang. Setelah masalahmu selesai, datanglah kerumah dan lamarlah aku. Tapi...kita tunangan dulu ya!”
“Terima kasih,” Ian hampir mencium Amy, tapi gadis itu menolak.
“Aku belum bisa berciuman, jika kita belum menikah. Maaf, sementara kamu hanya boleh memelukku. Sabar ya!” kata Amy polos, membuat Ian ingin tetawa.

Ian menggandeng tangan Amy dengan hati yang berdebar2. Rasanya...Amy bermimpi digandeng dengan orang yang selama ini ia sukai. Makan malampun dibuka. Amy memperkenalkan dirinya dengan sangat sopan, lembut dan anggun pada kedua orangtua Ian.
Papa dan mama Ian sangat senang, ketika tahu pilihan mereka selama ini punya menantu seperti Amy. Yang dengan kesopannya, kelembutannya, kecerdasaanya, kemampuannya dalam urusan rumah, sikapnya yang lugu, kepolosannya dan kecantikannya yang masih alami tanpa menggunakan make up, membuat mereka semua berucap kagum dan meluluhkan hati keduanya.

“Silakan nona cantik!” sambut Touya ketika dia membuka pintu rumah. “Cantik sekali malam ini. Nggak biasanya pake baju cewek!” ujar Touya menuntun Sakura masuk kedalam rumahnya.
“Kamu selalu saja menggodaku! Atau aku pulang?” kata Sakura. Touya tersenyum dan meminta maaf.
“Waw! Kamu yang nyiapin ini semua?” tanya Sakura kagum. Touya mengangguk.
“Hem...rumah sebesar ini apa kamu nggak kesepian? Bulan malam ini bagus ya! Tapi tak seindah dulu, yang pernah kita lihat berdua!” kata Sakura.
Tak berapa lama kemudian, mereka sudah menikmati acara makan malam mereka. Touya mendengarkan Sakura yang terus bercerita, yang diselingi dengan tawa. Tak ada beda malam hari ini. Touya dan Sakura yang sedang sibuk dengan makan malam mereka.
Juve yang sedang memperkenalkan Kai pada orangtuanya dirumah. Mereka juga sedang makan malam bersama. Amy dan Ian yang sedang senang karena mereka berdua direstui untuk menikah diusia muda dengan syarat. Dan satu lagi...yang sedang menikmati kencan pertama mereka, Lie dan Tika. Tapi...mereka sama2 pemalu.
Akan tetapi ada mendung disudut hati Ryn dan San. Mereka sedang bermalas2an dirumah. Tak tahu harus apa mereka, karena yang lain sedang ada acara. Hanya mereka berdua yang bengong sampai sekarang. Ryn berharap, San mau menjemputnya dan...sekedar makan malam. Itupun kalau ia mau.
“San-kan orangnya cuek banget! Ih..!! Kok aku jadi aneh gini sih! Dari kemarin mikirin San mulu! Bosen ah! Yang lain sedang enak2-an ma pacar mereka. Aku? Jomblo macam apa aku ini. Cowok aja nggak ada yang mau sama aku. Mungkin...hanya banci kali yang mau sama aku!” gerutunya sambil menendang2 sak tinju.
Dia sedang berlatih tinju untuk mengalahkan para preman yang sudah mulai nakal dengannya. Dari dulu, Ryn keras dengan namanya cowok. Ia pernah, hampir saja menyukai sejenisnya, kalau bukan karena Sakura, ia pasti sekarang sudah ada di Belanda dan menikah dengan sejenisnya.
“Kalo’ aja bukan karena Sakura, aku pasti jadi...seperti temanku dulu!” kata Ryn malas. Ia mengakhiri latihannya. Kaos yang ia kenakan basah oleh keringat, tubuhnya tampak sangat segar.
Ia berjalan lemas menuju dapur dan membuka lemari esnya, mengambil sebuah botol mineral, lalu ia teguk habis. “Nami mana sih? Dari tadi nggak kelihatan? Nami!!” teriaknya.
Bocah laki2 berumur 5thn itu datang dengan tangan kanan membawa robot, dan yang kiri membawa botol susu kosong. Ia menyodorkannya pada kakak tercintanya, lalu berkata, “Nami belum minum susu dari tadi. Mama papa sibuk, hanya Kak Ryn yang bisa bantu Nami. Tolong ya kak, Nami ingin minum!” dengan senyum manis yang menunjukkan gigi2 yang kecil dan ada yang berlubang.
Ryn berjongkok dan mengelus kepalanya sayang, “Kakak mandi dulu ya! Nami boleh ikut nemenin kakak. Atau...mau berendam air hangat dengan kakak?” dengan senang, Nami mengangguk dan Ryn langsung menggendongnya.
Mereka bermain air didalam bathub yang lumayan besar. Akan tetapi kesenangan itu hanya sesaat karena Nami mulai mengantuk. “Kakak akan mencari bajumu dulu, lalu akan kubuatkan susu ya! Nami duduk disini aja!” bujuk Ryn, berlalu.
Tak lupa ia ambil kacamatanya, tapi...ia melepaskannya kembali karena disamping kacamatanya ada lensa kontak. Lalu ada secarik kertas, sebuah memo yang ditulis dengan tergesa oleh mamanya.





“Thank’s mom!” ujarnya bahagia. Dengan cepat dia pasangkan lensa kontak dan mencarikan baju untuk adiknya.
Setelah ia selesai, dia membuat susu untuk Nami. Saat dia sedang melamun, ia merasakan hawa yang sangat aneh. Tiba2 semua senyap, sepi. Ia merasa ada yang aneh dengan rumahnya. Tiba2 lampu mati, Nami berteriak histeris. Dengan sigap, Ryn berlari kekamarnya memastikan keadaan.
Ada bayangan orang yang lewat. Tangis Nami bertambah kencang. Ryn bingung, lalu ia nyalakan lampu cadangan. “Tenang sayang, kakak ada di sini!” Nami langsung memeluknya.
Ryn menyambar Hpnya, lalu...ia bingung akan menelfon siapa. Karena mama ada di Belanda, dan papa sedang keluar kota. Teman2nya sedang ada acara, tak mungkin kesini. Ia tahu pasti ada penjahat yang dendam pada papanya, seorang penegak hukum.
Semua kaca dipukul sampai pecah. Ryn semakin bingung. Ia harus lari! Tapi...mereka pasti akan dengan mudah mengejarnya yang hanya bertelanjang kaki. Nami mulai diam dengan susunya.
“San! Hanya ada orang itu yang bisa aku andalkan. Kira2...10 menit ia sampai dirumahku! Tak ada pilihan lain!” gumamnya. Dengan sigap ia memencet nomer San. Tapi...ia batalkan. “Kenapa bukan kantor polisi?!! Bodoh sekali kamu, Ryn!” akan tetapi ia juga membatalkannya. “Bisa2...media massa kerumahku dan menanyakan kejadiannya, lalu akan disebar luaskan pada jaringan televisi! Pasti penjahat yang lain tahu rumahku. Dan aku akan sering diteror. Aku harus bagaimana?! Sialan!” rasanya Ryn ingin menangis, tapi ia tahu ini bukan saatnya untuk menangis.
“Nami, sekarang kamu diam aja yah! Kakak mau lari, jangan nangis. Ok?!” Nami hanya mengangguk sambil memegang erat botol susunya.
Ryn lari lewat pintu belakang. Terdengar suara ribut2 dan senjata yang pelatuknya siap ditarik. Tak berapa lama kemudian, terdengar bunyi letusan senjata tajam. Untunglah Ryn sudah keluar, dia bersembunyi digudang. Dengan nafas yang tak normal, dia mengintai dari balik semak2 rumput taman belakangnya.
Dia melihat sekitar 15 orang menyerbu rumahnya. Ia ingin melawan, tapi ia sadar. Apa daya seorang gadis sepertinya melawan mereka semua, sedang mereka membawa senjata api. Keringat dingin mulai menetes dari pelipisnya. Ia sudah sangat lelah, karena perlombaan tadi pagi sangat membuatnya menguras energi.
“Kakak, Nami ngantuk!” rengek Nami kecil. Ryn tersenyum dan merapatkan gendongannya. Dia harus lari menyelamatkan adik tersayangnya, yang selama ini menemaninya dikala mama dan papanya sibuk dengan pekerjaan.
“Tenang sayang, kakak akan menidurkanmu diatas kasur. Tapi...kamu sedikit sabar ya!” Nami mengangguk.
Lalu dengan tenaga cadangan, dia mengambil posisi lari dengan mengandalkan kesempatan. Ia berjalan mengendap2 menuju pintu samping. Lalu dengan cepat ia membukanya dan lari sekuat tenaga.
“Itu dia! Kejarrr!!! Jangan sampai lolos. Kita harus menangkap mereka berdua hidup2! Cepat!” ujar seseorang yang sepertinya pemimpin mereka.
“Hah!..hah...hah...” Ryn bernafas tak teratur. Kadang ia berhenti sebentar untuk mengambil nafas. Sudah cukup jauh ia berlari. Ia melewati jalan pintas yang hanya bisa dilalui dengan jalan kaki. Ia temukan bersama Nami saat bermain dilapangan.
Rumah Ryn terletak cukup jauh dari jalan besar. Dia tinggal dipinggiran kota, agar tak terlacak oleh musuh papanya. Tapi..sepandai2nya tupai melompat pasti akan jatuh juga. Rengekkan Nami mulai terdengar. Ryn dengan gugup menenangkannya.
“Hanya ada satu cara!” ia menekan tombol nomor milik salah satu anggota Miracle, nyawanya sekarang bergantung pada Santiago! “Hallo San, selamat malam! Bisa membantuku? Kamu sekarang dimana?” dia sedikit gugup.
“Ii..iya, aku bisa membantumu. Aku sekarang sedang perjalanan kerumah. Memang ada apa? Tenanglah, nafasmu memburu seperti itu, ada masalah apa?”
“Nanti akan kuceritakan!” doorr!! “pokoknya kamu tunggu aku didepan pencucian mobil ya! Thank’s,” ujar Ryn sambil berlinangan air mata. Ia tersenyum dalam hati. “Entahlah San, aku akan selamat atau tidak. Yang jelas aku akan menitipkan Nami padamu, aku senang mendengar suaramu sebelum ajal menjemputku.”
Mereka kembali berlari, tubuh Ryn kelelahan. Lalu, ia sampai dijalan besar. Dengan sigap ia mencari tumpangan, “pak, mohon batu saya. Tolong antarkan anak ini sampai didepan pencucian mobil. Nanti ada seorang pemuda yang bolamatanya hijau, berikan padanya.” Bapak itu terlihat curiga.
“Saya tahu bapak pasti curiga, tapi...ini bukan perdagangan anak. Saya jamin itu!” akhirnya bapak itu mengangguk. Nami duduk disamping bapak itu. “Pak, nama saya Adrian Stevanus. Nami sayang, kakak akan pergi mengambil sesuatu. Kamu harus selamat ya! Nanti kamu akan dijemput Kak San. Bye!” mobil itu meninggalkan Ryn sendiri.

“Sa, temani aku malam ini!” mohon Touya.
“Aku nggak bisa, Ya!” kata Sakura “aku udah janji ma kakak, nggak bakal nginep!” kata Sakura menyesal.
Touya mengangguk paham. “Tapi...kamu boleh cium aku kok!” kata Sakura kemudian.
Touya mendekatinya, lalu menarik pinggangnya. Dan menciumnya. “Touya, jangan!” kata Sakura pelan, ketika cowok itu mencium lehernya. Lalu merambat, mencengkaram bahunya kuat.
Mereka berdua jatuh secara alami diatas kasur Touya. “Yy..aa...”ujar Sakura pedih. “J-jangan...!” tapi terlambat. Touya dengan lembut sudah mulai memasukkan tangannya kedalam roknya. Lalu melepasnya pelan2. Bagai tersihir oleh mata malaikatnya, Sakura tetap diam. Tapi...tubuhnya gemetaran takut.
“Aku akan membuatmu nyaman. Panggil namaku Sa,” kata Touya sambil melepas rok Sakura. Sakurapun melakukan hal yang sama dengan Touya.
Malam yang indah bagi mereka berdua. Tapi...disudut hati Sakura, ia sedih kenapa Touya melakukan ini. Karena ia tak mau menyerahkannya begitu saja. Tapi...ia sudah tersihir oleh mata malaikat itu. Ia menangis, membuat Touya kebingungan lalu berhenti. “Tak apa, aku hanya senang.” Kata Sakura kemudian.
“Ran-chan, aku...sudah kotor. Aku sudah berjanji akan meninggalkan cowok ini. Aku akan pergi bersamamu. Tunggu aku ya!! Tapi...apa setelah itu kamu mau memaafkanku?”gumam Sakura dalam hati.

“Maaf, apa Anda orang yang dimaksud nona yang bernama Adrian Stevanus?” lelaki itu mengangguk. “Dia menitipkan anak ini pada saya. Dan nona Rian ingin memberikannya pada Anda. Tolong ya!” lalu bapak itu pergi.
“Kak San?!!” teriak Nami sayang. Mereka pernah bertemu satu kali, tapi Nami sudah langsung hafal dan lengket dengan San.
San memeluk tubuh kecil itu. “Nami, mana kakakmu? Sebenarnya ada apa?” tanya San mencoba menekan nada suara khawatirnya.
“Nggak tahu. Kata kakak aku akan bertemu Kak San. Dan aku dinaikkan bersama bapak tadi. Tapi...kami harus berlari2 kesemak2. Aku tak tahu ada keadaan apa, tapi sepertinya ada sesuatu yang gawat. Dan...aku nggak sengaja lihat orang berpakaian hitam2 menyerbu masuk rumah, dan yang mengerikan...mereka berjumlah banyak dan membawa pistol yang seperti ditivi2!” ujar Nami yang memang dia sangat hebat dalam hal mengingat sesuatu. Dia termasuk anak yang cerdas, karena pola pikirnya sama dengan orang dewasa.
“Hebat detektif kecilku! Nah sekarang, kita harus menjemput kakakmu.” San mencoba tersenyum, “berarti...nyawa Ryn sedang terancam. Tapi kenapa...kenapa ia tak kabur bersama dengan Nami? Kenapa Ryn?!” gumamnya pilu. “Atau kamu...nggak mau bertemu denganku? Apa aku sudah membuatmu marah?”.

“Hosh...hos...hah...hah... Sialan!! Mereka terlalu kuat! Tapi...aku sudah mendapatkan barangnya! Dan sekarang aku akan pergi dari tempat terkutuk ini!” gumam Ryn. Nafasnya tersengal2, tak beraturan. Ditangan kanannya ia memegang sebuah pistol yang ia rebut dari salah satu dari mereka. Dan...dikantung celana jeansnya ada sebuah kotak kecil. Yang sudah dibungkus sangat rapi, tapi...ia tak akan bisa menjaga kebagusan barang tersebut.
Barang yang ia sayangi sejak orang satu2nya meninggalkannya. Orang satu2nya pergi karena ia harus menjadi pewaris perusahaan ayahnya. Tapi...orang satu2nya itu tak sadar bahwa dia ada disana, untuk selalu memegang janjinya dulu.
“Jangan menangis lagi! Ini, kuberikan hadiah untukmu. Makanya jangan sedih lagi! Aku akan pulang, dan kita akan menikah!” kata laki2 berumur 6thn itu.
“Terima kasih, Vic!” kenangan yang benar2 ia simpan sejak dulu, yang baginya sangat berharga. Sampai ia harus menderita karenanya.
Ryn berlari sekuat tenaga. Ia harus selamat, walau kemungkinannya sedikit. Tapi dia tak mau menyerah.
“Hei! Itu dia! Kejar!! Jangan sampai lolos! Bos akan marah dengan kita! Tembak saja kalau perlu!” jerit seseorang.
Lalu terjadilah tembak menembak. Ryn terus berlari walau ia tahu, malaikat maut sedang mengawasinya saat ini. “Berikan aku kesempatan untuk menyerahkannya!”
Dia melihat seseorang yang melambaikan tangan padanya didepan jalan yang ia tuju saat akan menyelamatkan Nami. Ia berlari sambil sesekali menembak mereka. Rata2 dari mereka sudah berkurang, karena rata2 tembakkan yang Ryn luncurkan mengenai titik yang membuat lawan tidak bisa bergerak. Ia memang pernah berlatih menembak dengan papanya.
“Harapan papa padamu suatu saat, kamu jadi seorang inspektur perempuan di Jepang yang tangguh dan kuat. Kamu harus jadi pembela negara!” kata papa ketika usianya 9thn.
“Ryn!!! Disini!!!” teriak orang itu. Ia mengenali suaranya,...San.
Tak jauh lagi ia bisa menjangkau mobil itu. Tapi”...DOORR!!” suatu timah panas keluar dari pistol lawan, dan mengenai lengan atas Ryn. Tubuh itu goyah, tapi...ia tak jatuh. Dengan sekuat tenaga cadangan, ia melanjutkan larinya.
Darah mengucur dari lengannya, membasahi kaos tanpa lengannya. Kulit putihnya penuh dengan darah. Ia berhenti sejenak, lalu merobek bawahan kaosnya, lalu mengikatkannya pada lengan. Sedikit menahan darah yang terus keluar. “Ini sih bukan seberapa!” gumamnya.
Ia lanjutkan larinya. Pandangannya sudah sedikit buram dan kabur, berkali2 ia menggelengkan kepala dengan keras, mengusir pandangannya yang buram. Akhirnya ia mencapai mobil itu.
Sebelum San bertanya, “sudahlah, jangan banyak tanya! Ayo kabur dari sini!” San dengan gugup melajukan mobilnya denagn kekuatan maksimal.
“Kakak!!!” teriak Nami. Dia terlihat sangat senang mendapati kakaknya ada dijok belakang. Ia pindah, dan duduk disamping Ryn yang masih meluruskan nafasnya.
Ryn mencium sayang, lalu dia memeluk adik tercintanya. “Kakak ada disini. Sudah ya! Jangan takut, pahlawan kecil! Terima kasih!” San melihat adegan kakak beradik itu dari kaca spion, ia lega karena Ryn tidak apa2, hatinya tersenyum.
Tapi...tembakkan masih terdengar. Nami menangis, ketakutan. Ryn menyuruh mempercepat mobil San. Untunglah mobil itu terbuka, sehingga Ryn mengeluarkan keberaniannya. Musuh mengejar dari belakang. Ryn menyuruh Nami pindah kejok depan. Lalu ia mengisi pistolnya dengan peluru yang ia ambil dari laci ayahnya.
Ia berbalik dan menembakki lawan. Satu persatu terkena tembakkanya. Tapi...mobil San juga ikut tertembak lawan. Kadang mereka harus merunduk menghindari tembakkan. Nami terus menangis. San bingung dan sedikit takut.
“Ryn! Tembak bannya! Cepatt!!” perintah San tiba2. Ryn melakukan perintah itu dan akhirnya lawan telah kalah, mereka terpaksa menyerah karena ban mereka rusak.
Ryn bernafas lega, begitu juga dengan semuanya. San terus menjalankan mobilnya, menjauh dari tempat tadi. “Kamu mau kemana?” tanya San pelan.
“Terserahlah! Kalau bisa, aku akan menginap dirumahmu malam ini. Rumahku sudah berantakan. Aku juga ingin Nami tidur,” San menghembuskan nafasnya. Dia menuju rumahnya, yang terletak diluar kota Osaka.

“Ini rumah siapa?” tanya Ryn ketika mereka sampai disebuah rumah mungil yang terletak didekat laut.
“Ini rumahku. Yang selama ini aku tinggali rumah milik pamanku. Aku sering kesini untuk menengok rumahku, ya...kira2 1 minggu sekali. Walau kecil, tapi enak. Ayo masuk! Biar aku yang menggendong Nami,” ujar San menawarkan.
Ia mendekati Ryn, lalu meraih Nami yang tertidur digendongan Ryn. Tanpa sengaja, San melihat darah dari balik kain yang menutupi lengan atasnya. Ryn melihat mata San yang dari tadi terpaku pada luka tembaknya.
“Tak apa, jangan khawatir. Ini hanya terserempet. Ayo!” ajaknya.
Ryn berjalan duluan dan membuka pintu rumah San yang terkunci. San memberikan kuncinya, karena ia ingin mengambil sesuatu yang ketinggalan di dalam mobil.
“Aduh!! Mobilku hancur!” keluhnya melihat bagian mobil yang banyak tergores peluru. Lalu ia memungut botol susu milik Nami. Tapi...matanya terpaku pada sebuah benda yang ada disudut jok belakang. Sebuah kotak berwarna biru usang yang kelihatannya sudah lama. Tapi...tetap terawat rapi walau sebagiannya penyok.
Ia terdiam beberapa saat, “ini...milik Ryn?” gumamnya. Tapi...tiba2 memorynya segera tertuju pada peristiwa 11thn yang lalu, saat ia masih 6thn.
“Jangan menangis lagi! Ini, kuberikan hadiah untukmu. Makanya jangan sedih lagi! Aku akan pulang, dan kita akan menikah!” kata laki2 berumur 6thn itu.
“Terima kasih, Vic!” ujar gadis berambut merah itu.
“Kuberi sihir agar kamu nggak sedih lagi! Jangan lupa padaku ya!” katanya. Lalu bocah laki2 itu mencium pipi anak perempuan itu.
“R..rr...yn...” kata San bergetar. Lalu ia berlari kencang masuk.
Ryn sedang ada didapur, San meletakkan Nami didalam kamarnya. Lalu meletakkan botol susu disamping tubuh kecil itu. Dia mengganti kemejanya dengan kaos. Lalu mencarikan baju untuk Ryn. Mungkin ada baju yang pas untuk Ryn. Badan Ryn hampir sama dengan Ian, agak berbeda dari lainnya. Karena Ryn orang yang tangguh.
“Kamu sedang apa?” tanya Ryn pada San yang berdiri diluar dapur. Ryn bisa merasakannya. Lalu gadis itu melanjutkan mencari kotak P3K, ia akan memulai operasi kecilnya. “Kalo’ nggak kuat, kamu boleh tinggalin aku kok!” katanya datar pada San.
Tiba2 San berlari kearahnya, lalu memeluk Ryn dari belakang. Gadis itu hanya membeku. Ia merasa aliran darahnya menjadi mati, ia sekuat tenaga menahan nafas. “Ke...-kenapa? Kenapa kamu masih menungguku? Padahal aku lupa padamu? Kenapa kamu nggak mengingatkan aku? Padahal kamu selalu ada didepan matamu. Kenapa kamu menjauh? Pura2 cuek dan tak peduli? Kenapa kamu menutup hati bagi pria lain? Kenapa pria itu tak menyadari bahwa ia sedang ditunggu oleh seorang yang seseorang cintai setengah mati dan berusaha mempertahankan cinta itu? Kenapa pria itu tak bisa menolongnya saat ia membutuhkan bantuan? Padahal nyawanya sedang mengambang diatas kematian?! Kenapa dan kenapa?!!” ujar San menekan nada suaranya agar tak terlihat bahwa ia sedang menahan amarah pada dirinya sendiri yang sedang meluap.
Tubuh Ryn mulai bergetar. Ia ingin sekali menangis saat itu, tapi ia tak mau terlihat lemah didepan pemuda ini. “Janganlah kamu memarahi diri sendiri! Karena kamu hanya khilaf saja! Alasan aku menunggu seorang pemuda bernama Vic, karena aku mencintainya. Kenapa ia lupa padaku, mungkin ia hanya khilaf pada janjinya dulu pada seorang anak perempuan kecil yang sudah tumbuh menjadi dewasa. Alasan aku tak mengingatkannya karena aku sayang dia, aku nggak mau dia merasa bersalah karena tak menyadarinya. Aku menjauh karena aku takut aku akan kembali terluka, tapi ternyata pria itu ada didepanku. Aku menutup hati karena aku nggak bisa menghilangkan seorang pria bernama Vic. Kenapa pria itu nggak bisa membantunya ketika nyawa diambang kematian karena itu hanya sebuah takdir dan kecelakaan. Itu yang bisa aku jawab!”.
“Maaf...maafkan aku! Maaf, Ryn!” San lebih memeluk erat tubuh kurus Ryn. “Maukah kamu memaafkan aku? Aku mohon!!” San memejamkan matanya.
Ryn melepaskan dekapan San, lalu berbalik kearahnya. Pemuda itu masih memjamkan matanya, mengharap penuh. Ryn mengecup pipi San dengan lembut, membuat pemuda itu kaget dan membuka matanya. Terlihat Ryn dengan mata bidadarinya telah melihat sang pangeran yang selama ini ia tunggu. “Aku sudah maafin kamu. Dan...” sebelum kata2nya selesai San sudah memeluknya. “Vic?”
“Aku suka kamu. Dari dulu, itu yang akan kamu ucapkan padaku kan?” Ryn mengangguk. “Sebaiknya kita obati dulu lenganmu, “.
Mereka tetap terdiam, hanya tangan yang bekerja. San membantu Ryn menjahit lukanya. Untunglah San punya pembiusnya. Setelah selesai mereka tetap diam tak mau berbicara.
“Ry, kata kamu...luka ini belum seberapa. Memang...ada luka yang seperti apa lagi?”.
“Lihatlah punggungku. Sobek saja baju sialan ini!” ujar Ryn.
“Maaf ya!” San dengan keras menyobek baju bagian belakang Ryn. Ia kaget setelah melihatnya. Ryn memegangi sebagian baju bagian depannya, menutupi. “K-kenapa ini?”
“Itu luka karena tergores pedang samurai milik musuh papa, saat aku melindungi Nami. Saat itu kami masih tinggal di Hokkaido, aku umur 10thn. He..he..makanya aku bilang itu bukan luka seberapa. Karena badanku sudah sering terluka. Sejak dulu kecil aku sudah diajarkan bermacam2 beladiri. Pelajaran yang kudapat dari papa sangat berharga, dan aku akan mendidik Nami seperti itu.”
Sebuah luka yang kira2 panjangnya 30cm, luka seorang bocah yang ingin menyelamatkan seorang adik laki2nya. San menjilat bekas luka itu, membuat Ryn terpaku. “Sudahlah, kamu jangan bercerita tentang masa kecilmu yang suram. Sekarang kamu harus membersihkan badan dan tidur. Aku akan tidur disofa.” San pergi meninggalkannya, seperangkat pakaian sudah ada dikursi.
“Kumohon, jika kamu menepati janjimu itu, simpanlah hadiah itu untukku. Ada bersamamu kan?” San mengangguk. “Dan...rahasiakan semua dari Angels dan Miracle.”
Lalu, Ryn pergi meninggalkan San yang masih terpaku. Ryn ingin beristirahat. “Maafkan aku Ryn! Maaf! Aku menyesal telah menguburmu. Aku tak pernah memikirkan bagaimana perasaanmu. Padahal aku tega melupakanmu, karena.. sebenarnya aku bukanlah laki2 yang baik untukmu. Aku...seorang Gay! Maaf,” batinnya.

“Aku harus telfon mama dan papa agar menjemput kami. Aku pinjam telfonnya ya!” San mengangguk.
“Kak San!!!” jerit suara kecil itu. Ia keluar dari kamarnya sambil mengucek2 matanya.
“Selamat pagi detektif kecil! Mandi yuk!” ajak San. Nami menggeleng. “Memang kenapa?” Nami menunjuk kearah Ryn yang masih sibuk berbicara dengan orangtuanya ditelfon. “Kak Ryn lagi sibuk. Kamu mandi sama kakak aja ya!” Nami tetap menggeleng.
Anak kecil itu mentap San dalam, “apa ini sakit?” tanya Nami tiba2 dengan menyentuh dada San. “Aku bisa merasakannya. Disini sakit bukan? Kenapa? Mata itu sama dengan Kak Ryn. Aku tak tahu apa maksudnya, tapi...itu menyedihkan dan banyak lukakan?” pertanyaan Nami membuat San membeku.
“Anak sekecil ini...tahu, aku sedang sakit. Memang disini, dalam dan menusuk. Kata Nami, mataku sama dengan Ryn, memancarkan kesedihan dan luka.” Batinnya.
“Kakak!!!” jerit Nami. Ryn tersenyum sangat manis kepada Nami, ada sedikit rasa iri dalam diri San. “Aku mau mandi sama kakak aja!” ujarnya lagi. Dia segera meminta gendong pada kakaknya.
“Emm...bagaimana?” tanya San basa-basi.
“Kata mama, mereka sedang ada diperjalanan. Mungkin sekitar 1 jam lagi. Aku harus cari tempat baru lagi. mungkin... aku akan tinggal di Swiss.” Kata Ryn mencoba tegar.
San terdiam mendengarnya. “La-lalu...bagaimana dengan sekolahmu? Apa kamu nggak menunggu aja sampai kelulusan?” Ryn menggeleng lalu tersenyum.
“Tidak bisa, jika aku terus ada di Osaka, musuh yang lain bisa melacak kami. Itu sudah resiko menjadi anak pembela hukum. Kami sudah terbiasa pindah2 tempat tiap tahunnya. Maaf ya! Kita sudah bertemu tapi...berpisah kembali. Memang kita tidak ditakdirkan untuk bertemu lama. Aku berharap, Tuhan mau mengakhiri semua ini. Karena aku sangat lelah dengan kehidupan seperti ini. Aku senang, walau sesaat kita bertemu. Aku berharap, kamu mau mengenangnya, walau aku tak berbuat banyak padamu, iyaka Nami?” Nami mengangguk.
“Baiklah. Oh iya, ini baju untuk kamu dan Nami,” ujar San sambil menyodorkan pakaian itu. Sebuah kaos warna hitam dan celana borju , lengkap dengan topi dan manset warna senada. Satunya kemeja kecil kotak2 dan celana jeans.
“Kamu...dapat dari mana?” tanya Ryn heran.
“Aku beli tadi malam, sebelum kalian bangun. Terimalah, hanya ini yang bisa kuberikan.”
“Aku nggak bisa,”
“Terimalah, kumohon. Kamu bisa menganggapnya sebagai kenang2an terakhir, karena setelah ini kita nggak bisa ketemukan?” Ryn mendesah panjang. Lalu menerimanya.
“Jangan lupakan kami ya! Walau kita di lain tempat,” Ryn memeluknya. Nami ikut memeluk tubuh jangkung itu. “Kami akan rindu pada kalian semua. “ San mengangguk2, ia balas pelukan itu. Rasanya hangat dan menentramkan hati.
“Setelah ini, kamu mau kuantar kerumah teman2 untuk berpamitan?” Ryn mengangguk, lalu pergi untuk mandi. “Ada apa dengan hatiku ini? Rasanya...aneh. saat ia kupeluk dan ia memelukku, aku merasa ada debaran yang keras dalam hatiku. Aliran darahku bergerak lebih cepat. Apa ini yang dinamakan jatuh cinta? Tapi...apa seorang Gay sepertiku bisa merasakan cinta dari seorang gadis? Tapi kenapa? Kenapa baru sekarang aku menyadarinya?! Kenapa dihari dimana kami akan berpisah untuk waktu yang akan lama? Akankah Engkau akan mempertemukan kami lagi? dengan diri kami yang baru? Metamorfosis? Tapi...kapan jawaban itu akan datang? Jika aku mengatakan perasaanku yang tak menentu ini, pasti ia sangat terluka. Karena...pasti ia akan bertanya, mengapa aku baru sadar ketika ia akan pergi?!!” batinnya. Lalu dengan perasaaan campur aduk, ia pergi menyalakan mobilnya.

“Selamat pagi!” sapa Ryn pada kedua insan yang sudah ada didepan rumah.
“Ryn?!” kata Sakura kaget. Ia tertawa. “Ada apa?”
“San, kenapa kamu bersamanya? Lalu...ini siapa? Oh...anakmu ya?” goda Touya.
“Bodoh kau! Ini adiknya! Semalaman...kamu ngapain aja sama Sakura?” San menyelidik.
“Hei kak, nggak ada jawaban lain jika seorang laki2 dan perempuan belum menikah, mereka biasanya sedang bercinta. Ya kan?” kata Nami ikut nimbrung.
“Wuihh...! Ni anak kecil, tapi pikirannya udah dewasa ya!” mereka bertiga tertawa. “Siapa yang mengajarimu, hah? Namamu siapa?”
“Nami, umur 5thn, cita2 jadi detektif dan mata2 negara. Kak San biasanya memanggilku dengan sebutan Detektif kecil karena aku pintar dan menurut. Kak Ryn memanggilku pahlawan kecil, karena aku sudah menolong kakak tadi malam. Betul Kak San?” San mengangguk gugup, karena Touya menatap curiga.
“Tenang, kami nggak ngapa2in kok! Kami juga nggak punya hubungan khusus, hanya teman semasa...” San sadar.
“Semasa apa?”
“Semasa SMA lah! Kakak ganteng ini gimana sih?!” kata Nami mengalihkan. “Nama kakak siapa? Aku hanya kenal sama Kak San, Kak Ryn, Kak Sakura, Kak Tika, Kak Amy dan Kak Juve. Aku nggak kenal sama teman2 Kak Ryn yang cowok. Ternyata keren2 ya! Tapi...nggak ada yang sekeren Kak San. Aku suka sama Kak San. Karena...mata mereka berdua sama!” Touya tertawa.
“Aku Touya Mathew, pacarnya Kak Sakura. Nah, kakak2 tercintamu itukan sudah memberi julukan masing2, bagaimana jika aku memanggilmu, pembela?” Nami menggeleng.
“Namaku ya namaku! Kakak harus memanggilku Nami! Atau Mi-Chan!”.
“Kamu nggak bohongkan Ryn?” Ryn sekali lagi menggeleng. “Jawab yang tegas dong Ryn! Mana Ryn yang dulu begitu tegar?!” kata Sakura marah.
“Aku akan ke Swiss, Sa. Maaf, aku nggak bisa menemani kalian sampai lulus. Maaf ya! Aku akan keluar dari Angels!” Ryn ingin menangis, tapi ia tahan. “Akan kuceritakan sebenarnya lewat email. Kita masih bisa Chat diinternet kan?” Ryn tersenyum paksa.
“Maafkan aku yang selama ini nggak dewasa ya! Aku akan menunggumu jika kamu main keJepang.” Mereka berdua berpelukan haru, dan Ryn berpamitan.
“Hati2 Ryn!” kata Touya saat gadis itu berpamitan padanya. “Aku akan rindu padamu.”
“Aku juga akan rindu dengan kalian. Semoga kalian berdua bahagia ya! Jaga dia baik2,” Touya mengangguk, lalu mereka berpelukan.
Selanjutnya, San dan Ryn pergi kerumah Juve dan Amy. “Kamu mau tisue?” tanya San, Ryn menggeleng.
“Aku nggak nangis.”
“Nangis juga nggak apa!” kata San pelan.
“Kamu juga yang nyuruh aku jangan nangis dan sedih lagikan? Aku sedang mencoba. Lho? Ke-kenapa ini? Kenapa air mataku keluar sendiri? Aduh...aku ceroboh banget sih?” kata Ryn, Nami tertidur dijok belakang.
San tiba2 mengehentikan mobilnya, membuat Ryn menatapnya heran. “Kamu boleh nangis. Aku cabut perintah yang dulu untuk menangis. Dan...kamu boleh pinjam dadaku untuk menangis,” kata San tanpa sadar.
Ryn tak berkata apa2, dia tetap menangis, San keluar dari mobilnya, lalu menarik Ryn keluar dan memeluknya,dalam. Hangat. “Huwaa...” akhirnya Ryn menangis dalam dada pemuda itu.
San menggigit bibirnya, ia merasakan perih yang sangat menembus hatinya. Rasanya sangat sakit. Benar kata Nami, dia dan Ryn sama2 terluka dan punya kesedihan yang sama. San merasa dirinya sangat berdosa, gadis ini menangis karena sedih harus berpisah dengannya, dengan semua dan...gadis ini tahu, pemuda didepannya telah melupakkannya, menguburnya bersama ingatan masa lalu.
Setelah Ryn lega, mereka melanjutkan perjalanan. Tampak wajah anak kembar itu heran, karena tumben Ryn kerumah mereka. Dengan perasaan tak tahu, keduanya langsung berlari kearahnya.
“Selamat pagi, Ryn! Tumben mampir, masuk dulu yuk!” Ryn menggeleng. “Ya udah kalo’ nggak mau. Oh iya, ada kabar bagus lho! Amy mau married sama Ian setelah lulus. Ih...! kok dia duluan ya? Kapan Kai mau nglamar aku? Dia orangnya pemalu, nggak seromantis Ian.” Kata Juve bersemangat.
“Ih...! kakak apaan sih? Bodo’ ah! Kakak juga bisa nikah sekarang juga. Nanti aku suruh tuh anak nikahin kakak. Mau nggak? Kakak aja belum siap kan?” Juve mengangguk malu.
“Kalo’ gitu selamat ya!” kata Ryn pelan.
“Kok mata kamu sembab? Habis nangis? Terus...yang didalam mobil siapa?”
“Aku nggak papa kok. Tadi kemasukkan debu. Itu San, aku minta antarkan dia kesini.” Juve dan Amy menatapnya curiga. “Bener, kita hanya teman kok! Nggak lebih dari itu. Oh iya, kedatanganku kesini, aku hanya mau pamit. Aku mau pindah ke Swiss setelah ini. Mama dan papa sudah menunggu di Bandara. Maaf aku nggak bisa menemani kalian sampai lulus. Maafkan aku ya! Sekali lagi maaf!” Ryn membungkukan badan.
Amy sudah menangis tersedu2. Juve hanya bisa mengangguk lemah. Ia tahu, jika ia bertanya kenapa itu adalah lancang. Karena sipemilik masalah tidak menceritakannya. Mereka bertiga saling berpelukan haru. “Aku titip Sakura ya! Apa Tika ada dirumahnya?” Juve menggeleng.
“Dia sedang ada diluar kota, liburan bersama Lie. Nanti aku salamkan.” Kata Amy.
“Oh iya, jangan lupa ucapkan pada Kai dan Ian, aku minta maaf. Sudah dulu ya! Bye!” ujar Ryn tabah. Juve memeluk adiknya sedih, mereka menangis bersama, walau deru mobil San sudah hilang.

“Kamu nggak apa, nak?” tanya mama Ryn pada anak tersayangnya. Sedangkan papanya segera memeluk sayang Nami.
“Ry nggak papa kok, ma! Hanya tergores sedikit, dan itupun sudah dijahit. Nami juga nggak terluka sedikitpun.”
“Maafkan papa ya! Gara2 pekerejaan papa, kalian yang jadi bahaya.” Ryn mengangguk mengerti. “Papa sudah urus surat pindahan sekolahmu. Kita harus segera berangkat.” Ryn mengangguk.
“Aku harus temui San untuk berterima kasih.” Wajah kedua orangtuanya seakan bertanya, siapa San. “Dia Vic, sahabat kecilku, ma! Mama ingat?” mama dan papanya mengangguk, menitipkan salam untuknya.

“Selamat tinggal, Ryn!” batin San. Dianyalakan mesin mobilnya, akan tetapi, ketukan dijendela membuatnya menghentikan niat. Dia memang sengaja tidak mengantar Ryn.
“Makasih ya! Udah mau temenin aku tadi sama yang tadi malam. Aku nggak akan lupakan itu. Hati2 dijalan. Bye!” Ryn hanya bisa mengucapkan itu. Ia berharap, San akan berkata, walau sedikit.
Tiba2 San menariknya masuk,”aku ingin bicara denganmu sebentar. Ini masalah kita berdua.” Ryn mengangguk pelan. “Alasan aku melupakanmu bukannya aku khilaf. Tapi aku sengaja melakukannya. Kamu boleh marah padaku, aku memang pantas untuk dimarahi. Aku ini orang teregois didunia. Aku tak pernah memikirkan dengan keegoisanku ini ternyata aku telah banyak melukai seseorang, terutama kamu. Silakan kamu menamparku, aku sudah siap jika kamu membenciku selamanya, memang aku pantas mendapatkannya.” Ryn terdiam, mendengar.
“Bermula dari...aku kelas 1 SMP. Aku menyukai kakak kelasku, dia cowok. Aku benar2 memujanya. Aku tahu aku ini nggak waras, karena aku menyukai seorang laki2. Saat itu aku juga melupakanmu, karena aku lupa pada janjiku. Aku terus menyibukan diri dengan mencintainya lebih dari kamu.
“Saat kunyatakan perasaanku padanya, ia menerimaku, karena ia juga seorang Gay, waktu itu aku nggak mengakui kalo’ aku ini udah jadi Gay. Tapi...lama kelamaan Kakak itu mengenalkanku pada teman2nya. Dan...aku jatuh dari kebenaran. Sampai akhirnya, Touya datang, mengangkatku kembali dari dasar yang gelap. Kuceritakan semua masalahku padanya, bahwa aku telah melupakan satu hal yang paling berharga bagiku, yaitu kamu. Aku nggak tahu kamu yang sekarang seperti apa, karena Kakak itu melarangku dan membakar semua benda2 yang diberikan cewek2 yang menyukaiku.
“Termasuk fhotomu, yang kamu kirimkan terakhir kalinya, karena kamu pindah ke Jepang lagi. Aku hanya cuek saat ada murid baru, padahal itu kamu. Dan aku...sedikit masih menyukai laki2, termasuk Touya. Tapi...setelah kulihat, dia orang baik2, aku nggak boleh merusaknya. Aneh, kenapa aku merasakan hal yang janggal akhir2 ini? Saat kamu memelukku, aku merasa sangat berbeda. Hangat dan menentramkan hati. Dan aku tahu, kejadian apa ini. Ternyata...aku jatuh cinta padamu untuk kedua kalinya. Aku tahu, aku terlambat menyadarinya, dan...ini semua tak akan menghambatmu pergi. Aku benar2 cowok terbodoh didunia! Aku menyesal, kenapa baru sekarang aku menyadarinya dan mengatakan hal itu padamu. Maafkan aku!” kata San pada akhirnya.
“Jangan bersedih! Kamu pernah bilang seperti itu padaku. Kamu nggak salah, semua ini bukan salah kita. Ini hanya takdir dari Tuhan. Aku juga akan selalu mencintaimu, walau kita terpisah sangat jauh. Aku selalu membuka hatiku untukmu. Setelah lulus, kamu harus menyusulku ke Swiss. Kita akan hidup disana. Bagaimana?” mata San berbinar senang.
“Berarti, kamu akan menungguku? Kamu mau menerimaku? Kamu memaafkanku, walau aku ini seorang Ga...”
“Kamu bukan lagi seorang Gay, Vic. Kamu laki2 sejati. Percayalah! Aku akan menerimamu walau kamu pernah menjadi seorang Gay. Aku selalu menerimamu, aku sayang kamu!” kata Ryn. Mereka berpelukan haru.
“Aku belum berani menciummu. Mak...” tapi Ryn lebih duluan menciumnya. “R-ryn?”
“Good bye, my boyfriend!” Ryn akhirnya keluar dari mobil San. Gadis itu melambaikan tangan, dan menghilang bersama dengan gerombolan manusia yang hilir mudik memadati bandara.
“Aku janji, aku akan menyusulmu.” Tekad San.

6 tahun kemudian...
Gadis itu mempercepat laju mobilnya, mengegas sekuat2nya. Ia sedang dikejar waktu, ia harus ada tiba dibandara. Adiknya yang lucu, kini sudah menjadi dewasa, seiring dengan waktu yang bergulir.
Sesampainya dibandara, ia melihat jadwal pesawat yang landing. Ia sangat kecewa begitu melihat, jadwal landing pesawat nomor 03 dari Jepang menuju Swiss sudah lewat setengah jam lalu. Ia melotot kearah adiknya.
“You must respontsible!” ujarnya kesal. Yang membuatnya terlambat adalah adiknya, karena dia bangun kesiangan. “Kamu ingin aku pukul?!” adiknya hanya bermaaf2 ria. “Gara2 kamu! Kita terlambat menjemputnya! Lalu dia ada dimana?”
“Tuh!” ujar adiknya menunjuk kebelakang kakaknya. Gadis itu berbalik arah. Sosok yang ia tunggu selama 6 tahun, berdiri dengan gaya yang santai.
“Apa kabar, Ryn?” tanyanya. Gadis itu langsung berlari kearahnya, lalu menubruknya. Sosok itu hanya tertawa kecil.
“Jahat kamu! Bikin aku khawatir aja! Aku kira kamu udah pergi dari sini. Ini gara2 Nami!” adiknya meringis.
“Apa kabar, detektif? Kamu nggak memelukku? Seperti dulu, kamu berlari kearahku, lalu meminta gendong?” Nami menggeleng tegas.
“Aku sudah dewasa, Kak Vic!”
“Ya sudah!” ledek San atau Vic. Tapi...akhirnya Nami memeluknya, lalu menangis.
“Aku kangen sekali dengan kakak!” ujarnya. San hanya tersenyum.

Didalam mobil Nami terus berceloteh riang, San mendengarnya tanpa bosan. Ryn kadang tertawa mendengarnya. Ryn kini telah bermetarmofis, makin dewasa dan cantik. Tak sediam dulu, sering tertawa dan sedikit feminin. Walau ia masih mengajar dalam teknik sipil pertahanan negara.
Rambutnya makin panjang, tubuhnya makin tinggi. Begitu juga dengan San. Sekarang ia jadi pelukis, walau ayah tercintanya kurang setuju dengan keputusan San. Janggut tipis menghiasi dagunya, gayanya tetap seperti dulu, santai. Mereka akan hidup bahagia di Swiss, mereka akan menikah. Yang disetujui oleh kedua orang tua mereka.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer